Jelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming pada 20 Oktober 2024, banyak spekulasi beredar tentang bagaimana pemerintahan baru akan menavigasi transisi dari era Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Periode ini dinilai sangat penting, tidak hanya sebagai momen pergantian kekuasaan, tetapi juga untuk memastikan kelangsungan program pembangunan yang sudah berjalan selama hampir satu dekade terakhir.
Dengan semakin dekatnya waktu pelantikan, perhatian publik tertuju pada bagaimana Prabowo dan Gibran akan membentuk cabinet mereka, melanjutkan program-program strategis, dan menghadapi tantangan ke depan.
Tulisan ini akan membahas tiga poin utama terkait proses transisi ini, yaitu pendekatan akomodatif Prabowo, tantangan dalam penyelarasan program, serta harapan bagi masa depan pemerintahan baru.
Pendekatan Akomodatif Prabowo dalam Politik Koalisi
Salah satu langkah yang paling mencolok dalam transisi ini adalah keputusan Prabowo untuk merangkul berbagai kelompok dan kekuatan politik, termasuk beberapa menteri dari pemerintahan Joko Widodo yang dirumorkan akan kembali masuk dalam kabinet baru.
Pendekatan ini menunjukkan sisi akomodatif dari politik Prabowo, yang mungkin dipandang sebagai upaya untuk menciptakan stabilitas politik dalam negeri serta menjaga kesinambungan kebijakan.
Pendekatan yang akomodatif ini bisa dilihat dari bagaimana tujuh dari delapan partai politik pemilik kursi di DPR periode 2024-2029 telah bergabung dalam koalisi Prabowo-Gibran.
Ini adalah langkah yang cerdik dalam politik, karena dengan dukungan mayoritas partai, pemerintahan baru bisa lebih efektif dalam menjalankan agenda-agendanya.
Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa pendekatan ini bisa mengurangi dinamika politik di dalam parlemen.
Dengan minimnya oposisi, mekanisme check and balance bisa tereduksi, yang berpotensi memperlemah akuntabilitas pemerintahan.