Beberapa waktu lalu, sempat ada wacana soal penerapan student loan di Indonesia guna mengatasi kenaikan UKT. Wacana ini sempat dibahas dalam rapat DPR RI bersama Kemendikbudristek terkait polemik UKT yang melonjak tinggi.
Sebagai informasi saja, student loan adalah istilah yang merujuk pada program pinjaman pendidikan tinggi bagi mahasiswa.
Menurut Cambridge Dictionary, student loan artinya perjanjian di mana seorang mahasiswa di sebuah universitas meminjam uang dari bank untuk membiayai pendidikan mereka dan kemudian membayar kembali uang tersebut setelah mereka lulus atau selesai belajar dan mulai bekerja.
Sistem ini sudah diterapkan di beberapa negara yang berkembang seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, Korea Selatan, dll.
Jika dilihat dari definisinya, student loan ini tidak berbeda jauh dengan pinjol. Keduanya sama-sama mengharuskan mahasiswa untuk mengangsur biaya kuliah.
Pemerintah perlu memikirkan solusi lain yang tidak menjebak mahasiswa pada pinjaman online atau pinjaman bank, sehingga memberatkan mereka di masa depan.
Sebenarnya, dana pendidikan sebesar 20 persen yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) cukup untuk biaya operasional perguruan tinggi di Indonesia.
Apabila dana yang besar tersebut dikelola dengan bertanggung jawab, tentu akan menjamin hak warga negara untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan terjangkau.
Kuncinya terletak pada pengelolaan anggaran yang bertanggung jawab oleh pemerintah. Jika saja pengelolaannya baik, niscaya biaya pendidikan kita terjangkau, bahkan gratis.
Sebagai penutup: dalam rangka mewujudkan Indonesia emas tahun 2045, mau tidak mau pemerintah harus menyiapkan SDM yang berkualitas melalui pendidikan yang terjangkau, bahkan kalau perlu pendidikan gratis.
Pinjaman online atau pinjaman bank memang seperti angin segar, tapi hal itu punya dampak negatif menurunkan produktivitas mahasiswa di masa depan.