Baru-baru ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melakukan skrining kesehatan jiwa terhadap 12.121 mahasiswa yang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di 28 rumah sakit vertikal.
Hasil survei skrining yang dilakukan pada Maret lalu menunjukkan, 22,4% mahasiswa PPDS mengalami gejala depresi, 0.6% di antaranya mengalami depresi berat, 3,3% terdeteksi ingin melukai diri hingga bunuh diri. Hasil survei skrining ini kemudian menjadi topik trending di Google.
Mengutip laman Kompas.tv, dari 22,4% PPDS yang mengalami gejala depresi, terdapat 381 orang menjalani pendidikan spesialis anak, 350 orang menjalani pendidikan spesialis penyakit dalam, 248 orang menjalani pendidikan anestesiologi, 164 orang menjalani pendidikan neurologi, dan 153 orang menjalani pendidikan obgyn.
Jikalau ditotal, maka jumlah calon dokter spesialis yang mengalami gejala depresi adalah 1.296 orang. PPDS yang mengalami gejala depresi terbanyak berasal dari RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, RS Hasan Sadikin Bandung, RS Sardjito Yogyakarta, dan RS Ngoerah Denpasar.
Memang, hasil skrining yang dilakukan oleh Kemenkes belum sampai mengungkap penyebab depresi. Akan tetapi, dengan melihat banyaknya kasus mahasiswa PPDS yang mengalami gejala depresi, maka penting untuk mempertanyakan seperti apa sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia.
Hubungan Sistem Pendidikan Dokter Spesialis dengan Tingkat Depresi pada Mahasiswa
Untuk menjadi dokter spesialis, maka seorang dokter umum mesti sekolah lagi. Sekolahnya berupa coaching dan training di rumah sakit. Di Indonesia, sekolah spesialis itu bernama Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Masa sekolahnya 3-6 tahun; bergantung pada bidang spesialisasi yang dipilih.
Pelaksanaan PPDS di Indonesia ialah lewat universitas. Melalui fakultas kedokteran, universitas melakukan seleksi penerimaan, pendidikan, dan pemberian gelar spesialis. Karena itu, model PPDS di Indonesia dinamakan dengan university-base.
Belum lama ini PPDS mendapat sorotan dari kalangan kesehatan dan pendidikan, karena program itu, dinilai menimbulkan masalah mental pada calon dokter spesialis.
Intan Alita Putri dan Soepardi Soedibyo dalam artikel mereka yang berjudul "Tingkat Depresi Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM dan Faktor-faktor yang Terkait" mengungkap, pendidikan kedokteran, sering kali, membutuhkan kerja keras yang penuh stressor, dan sering dilaporkan sebagai penyebab burnout, ansietas, depresi, dan masalah psikososial pada residen.
Masih dalam artikel yang sama, stres yang dialami meningkat seiring dengan program residensi sebagai akibat meningkatnya tanggung jawab, karena residen diharapkan untuk menjadi klinisi, pendidik, peneliti, dan administrator yang baik di akhir masa pendidikan.