Namun yang pasti, apapun yang menjadi program pemerintah terkait peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing di kancah global patut kita support, sejauh hal itu tidak mengorbankan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu program pendidikan yang sudah dilakukan oleh pemerintah dan swasta adalah program beasiswa bagi siswa yang berprestasi, namun tidak mampu secara ekonomi.
Para siswa yang ingin melanjutkan studi ke jenjang universitas atau sekolah tinggi dapat memilih jalur seleksi mandiri Perguruan Tinggi Negeri (PTN) atau jalur seleksi mandiri Perguruan Tinggi Swasta (PTS).
Bahkan, kini para siswa yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi melalui jalur PTN maupun PTS bisa menggunakan Kartu Indonesia Pintar (KIP).
Jalur ini memberikan kesempatan kepada calon mahasiswa untuk mendapatkan bantuan beasiswa, sehingga penerimannya dapat kuliah secara gratis. Juga, penerima akan mendapatkan bantuan biaya hidup per semester hingga lulus kuliah.
Tentu saja, syarat penerima beasiswa pada dua jalur tersebut di atas berbeda-beda dan memiliki tingkat kerumitannya tersendiri.
Dalam artikel ini, saya tidak akan membahas seluk-beluk jalur mandiri PTN, tapi hanya berfokus pada jalur mandiri PTS, khususnya Sekolah Tinggi Teologi (STT).
Mengapa? Karena saya sedang menjalaninya saat ini - tanpa kepemilikan KIP.
Beasiswa di lingkungan STT di Indonesia, khususnya pada program pascasarjana, sejauh pengamatan saya, memang, belum banyak diadakan. Hal ini karena dananya masih sangat terbatas.
Hanya STT yang memiliki dana (dan tentunya iman) yang besarlah yang berani mengadakannya. Itupun, penerima siswa baru dibatasi setiap tahun.
Salah satu STT di Jakarta Utara yang berani menyediakan beasiswa jalur mandiri PTS adalah Sekolah Tinggi Teologi Ekumene (STTE) Jakarta. Program beasiswa bagi siswa yang kurang mampu ini disebut Program Sahabat Ekumene (SAKU).