Menulis itu asyik, terutama ketika tubuh kita dalam keadaan segar. Tapi, bagaimana kalau tubuh kita dalam keadaan lelah? Rasa malas dan kantuk akan menyerang dan membuat kita tak berdaya.
Ketika ini terjadi, maka tulisan yang semula kita niatkan untuk selesaikan pada hari itu tertunda. Ya, tidak apa-apa sih, kalau kita menunda dan menyelesaikannya besok hari.
Bagaimana kalau besok ternyata kita tidak sanggup menyelesaikannya? Konsekuensinya, makin banyak PR kita.
Kebuntuan menulis ini, seringkali dialami oleh semua penulis, termasuk penulis-penulis besar. Cara mereka menghadapinya berbeda-beda.
Ada yang memilih rehat sejenak baru melanjutkan tulisan; ada yang memilih jalan-jalan sejenak baru melanjutkan tulisan; ada pula yang memilih melanjutkan tulisan itu, meskipun dalam keadaan capek.
Kalau saya cenderung ke tipe yang terakhir. Memang sih ini tampak ekstrim, karena terkesan lebih mementingkan tulisan ketimbang kesehatan tubuh. Tapi, itu pilihan yang saya buat dan tidak mesti ditiru oleh kalian.
Dalam hal menulis, saya mesti bersikap "keras kepala dan egois." Sebab kalau tidak, tulisan saya tidak bakal kelar.
Saya terinspirasi oleh wejangan seorang penulis Irlandia, Kevin Barry, yang dikutip oleh Pepih Nugraha dalam bukunya Tulislah! Mengembangkan Proses Kreatif Menulis.
"Kamu harus berkorban dan menjadi sangat egois. Sagala sesuatu yang lain dan orang lain adalah nomor dua setelah tulisanmu, sebelum tulisanmu kelar", kata Barry.
Keras kepala dan egois yang dimaksud Barry di sini adalah kemauan untuk menulis setiap hari, tekat yang kuat untuk menyelesaikan satu tulisan sampai selesai.
Ada beberapa keuntungan dari menulis setiap hari di Kompasiana, yang selama ini saya rasakan, sebagai berikut.