"Selamat malam, Billy, KK mo kase tau insha Allah, eso KK ada iko ibu Lurah dan rombongan lain ada kegiatan Bimtek 3 hari di JKT, berangkat dari Ternate jam 08.00, tiba JKT jam 10.00, KK ada bawa oleh-oleh Cuma kue lapis Tidore saja. Nanti baru datang ambe di Grand Tjokro Hotel", tulis Kakak Nur melalui WA pada 28 Februari 2024.
Membaca pesan itu, hati saya penuh sukacita. Bagaimana tidak, sekitar 7 tahun baru saya bertemu kembali dengan Kakak Nur.
Tahun 2017 lalu, Kakak Nur pernah ikut kegiatan di Jakarta. Kala itu, dia nginap bersama rombongan di Hotel Balairung Jakarta.
Itu adalah kali pertama saya bertemu Kakak Nur, setelah sebelumnya terpisah puluhan tahun. Kok bisa terpisah puluhan tahun dan baru bertemu, gimana ceritanya?
Begini ceritanya...
Dahulu, orangtua saya dari Saparua, Maluku Tengah, merantau ke Jailolo, Maluku Utara. Ibu saya bertugas sebagai guru SMA, tepatnya di SMA Negeri 1 Jailolo, sedangkan ayah saya bertugas sebagai pendeta. Saat itu, ayah saya sedang merintis gereja.
Menurut informasi dari Kakak Nur, suatu hari, ayah saya berpergian ke Desa Hatebicara, sekitar 2 km dari Desa Jati. Lalu, tidak sengaja bertemu dengan ayah dari Kakak Nur, Kene Katjili (alm.). Kala itu, ayah Kakak Nur adalah seorang TNI AD yang sedang bertugas di Hatebicara.
Sejak pertemuan itu, ayah dan ibu saya sering berkunjung ke Hatebicara, sebaliknya juga, ayah dan ibu Kakak Nur sering berkunjung ke rumah orangtua saya di Desa Jati.
Belakangan, orangtua saya baru tahu, kalau marga ayah saya, Jeremias Kaitjily (alm.), sebetulnya berasal dari Kota Tidore Kepulauan, bukan dari Saparua, Maluku Tengah.
Fakta ini disampaikan oleh ayah Kakak Nur kala itu. Jadi, saya dan Kakak Nur adalah saudara, karena marga kami sama.