Dear Billy,
Bagaimana kabarmu? Maafkan aku baru menulis surat untukmu. Belakangan ini, aku cukup sibuk dengan pekerjaan baruku. Aku berharap dapat tetap mengabarkanmu lewat surat di sela-sela kesibukanku.
Aku menulis surat ini dari meja belajarku. Di atas meja ada handphone, secarik tisu bekas, kotak pensil, remut AC, kalender berukuran mini, dan sebuah pena tergelatak di atas mejaku.
Kamu tahu kan, aku enggak suka mejaku berantakan. Tapi, kali ini, aku sengaja membiarkannya, karena aku ingin menyelesaikan surat ini terlebih dahulu.
Cuaca di luar sangat cerah, langit biru diterangi cahaya bulan dan bintang. Suasana seperti ini, jarang kutemukan di Jakarta. Bagaimana cuaca di tempatmu, bung?
By the way, aku dengar, kamu habis ikut lomba menulis opini yang diadakan oleh Komunitas Kompasianer Jakarta dan kamu kalah, ya!
Billy, menang atau kalah, adalah sebuah kenyataan yang mesti dihadapi oleh peserta lomba. Aku salut padamu bung, karena kamu bisa menerima kekalahanmu dengan lapang dada.
Bahkan, kamu berani mengucapkan selamat kepada mereka yang memenangkan lomba -- sebuah sikap sportif yang hanya dimiliki oleh orang-orang hebat sepertimu.
Aku berharap, dari kekalahan ini, kamu belajar meningkatkan kualitas tulisanmu. Kamu dapat belajar dari teman-temanmu pemenang lomba opini. Belajar dari Kompasianer Ire Rosana Ullail, misalnya.
Menurutku, Mbak Rere orangnya welcome kok, dia nggak pelit ilmu. Silakan kamu berdiskusi dengannya.