Pulau Saparua sekaligus Kecamatan Saparua, merupakan salah satu pulau yang masuk dalam gugusan Kepulauan Lease, yaitu Saparua, Haruku, dan Nusalaut. Pulau ini memiliki tiga ekosistem utama pada wilayah pesisir, yaitu ekosistem mangrove, lamun, dan terumbu karang. Pulau Saparua juga termasuk ke dalam segitiga terumbu karang dunia (CTI).
Karenanya, Pulau Saparua memiliki potensi ekonomi laut yang sangat menjanjikan. Sayangnya, kondisi terumbu karang di Pulau ini terus mengalami kerusakan dari waktu ke waktu dan kurang mendapat perhatian serius dari masyarakat maupun Pemerintah. Menurut pengamatan saya lho, ya!
Penelitian yang dilakukan oleh Fismatman Ruli, Terrri Indrabudi, dan Robert Alik pada bulan Maret tahun 2018 mengungkapkan kalau kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Saparua, khususnya di bagian selatan (Porto, Haria, Ouw, Booi, Paperu, dan Sirisori Islam), rata-rata tutupan karang hidup adalah 33,59% atau tergolong ke dalam sedang.
Tutupan tertinggi ditemukan di Haria (60,67%) dan terendah di Porto (14,27%) dan Paperu (7,27%). Setiap stasiun didominasi oleh jenis substrat yang berbeda. Pada stasiun Porto didominasi oleh substrat berpasir; stasiun Haria, Ouw, dan Booi didominasi oleh karang hidup; dan stasiun Paperu dan Sirisori Islam didonimasi oleh karang mati yang telah ditumbuhi alga.
Adapun bentuk pertumbuhan karang hidup di stasiun Porto didominasi oleh karang bercabang (non-Acropora), stasiun Haria didominasi oleh karang bercabang (Acropora), stasiun Ouw didominasi karang encrusting, stasiun Booi dan Sirisori Islam didominasi oleh karang masif, dan pada stasiun Paperu didominasi oleh karang Acropora tabulate/karang meja.
Selain Haria yang memiliki terumbu karang bagus, menurut Julian J. Pattipeilohy, stasiun Tuhaha, Ihamahu, dan Noloth juga memiliki terumbu karang yang masih bagus dan hutan mangrove yang masih terawat.
Fenomena kerusakan terumbu karang ini pernah dikeluhkan oleh Gubernur Maluku, K. A. Ralahalu dalam sebuah acara tahun 2013 silam. Beliau mengakui kalau wilayah Maluku memiliki ekosistem terumbu karang seluas 423.257,90 Ha, yang terus berkurang akibat aktivitas manusia dan hanya tersisa 10% yang masih baik.
Tulisan ini bertujuan menggali penyebab kerusakan terumbu karang di Pulau Saparua dan upaya yang mesti dilakukan Pemerintah bersama masyarakat pesisir dalam melestarikan terumbu karang. Dengan upaya ini, niscaya potensi ekonomi laut di Pulau Saparua menjadi optimal. Â
Penyebab Kerusakan Terumbu Karang di Pulau Saparua
Lantas, apa yang menjadi penyebab kerusakan terumbu karang di Pulau Saparua? Ada banyak faktor. Faktor cuaca (arus dan gelombang) laut yang kuat bisa mengakibatkan terumbu karang menjadi rusak atau tidak bertumbuh maksimal. Misalnya, pada stasiun Booi dan Ouw, yang berhadapan langsung dengan lautan lepas Pulau Banda, pada daerah ini terumbu karang akan sulit berkembang.
Penyebab lain adalah aktivitas nelayan. Sadar atau tidak, alat penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan di Pulau Saparua berpotensi merusak terumbu karang. Alat-alat penangkapan ikan seperti racun potas, jaring atau jala, bubu, dan bahkan bom rakitan - tidak ramah lingkungan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya