Ulat sagu menjadi pembicaraan publik belakangan ini, usai seorang guru merekam seorang bocah SD yang membawa bekal ulat sagu ke sekolah. Videonya itu langsung viral dan memicu obrolan hangat di media sosial.
Banyak orang yang bangga dengan si bocah, namun tidak sedikit juga netizen yang bingung mengapa ulat sagu menjadi menu bekal ke sekolah. Bagaimana pun, ulat sagu adalah hewan yang bisa dikonsumsi, sebelum ia berubah menjadi kumbang kelapa.
Di wilayah Indonesia bagian Timur seperti Maluku dan Papua, ulat sagu menjadi makanan yang lumrah. Ulat sagu bisa diolah menjadi tumisan atau bahkan dimakan mentah begitu saja. Ulat sagu banyak ditemukan pada pohon sagu yang sudah tumbang dan mengalami pembusukan.
Lantas, kira-kira apa saja manfaat ulat sagu bagi kesehatan manusia? Yuk, simak informasinya berikut ini.
Menurut laporan Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, dalam 100 gram ulat sagu yang dikeringkan, mengandung 53 gram protein dan 15 gram lemak. Menariknya, kandungan protein dan lemak dalam ulat sagu lebih tinggi dibandingkan dengan ikan bandeng, ikan cakalang, ikan kembung, daging sapi, dan daging ayam.
Ulat sagu juga mengandung mineral lain seperti kalsium, zat besi, dan zinc. Selain itu, ulat sagu juga mengandung asam amino esensial lain seperti aspartate 1,84 persen, asam glutamate 2,72 persen, tirosin 1,87 persen, lisin 1,97 persen, dan methionine 1,07 persen. Sebuah laporan mengatakan, dengan kandungan asam amino esensial yang banyak itu, dapat mencukupi kebutuhan tubuh ulat sagu untuk membentuk protein yang diperlukan bagi pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh.
Kendati demikian, penting untuk tidak mengonsumsi ulat sagu secara berlebihan. Sebab, mengonsumsi protein terlalu banyak dapat memicu masalah pencernaan seperti sembelit, diare, kembung, hingga kram perut.
Sambil saya menyiapkan tulisan ini, saya coba tanya ke istri saya, apakah dia pernah makan ulat sagu? Dia bilang kalau dia belum pernah memakannya. Dia juga bilang kalau di kotanya, Jepara, tidak ada pohon sagu, sehingga tidak pernah melihat langsung ulat sagunya. Ketika saya menunjukkan gambar ulat sagu di internet dia merasa geli, dia bilang kalau dia tidak berani memakannya.
Lalu, dia tanya balik ke saya, apakah saya pernah makan ulat sagu? Saya bilang sepertinya saya pernah makan dulu waktu masih domisili di Saparua, Maluku Tengah. Tapi, saya lupa persis kapan. Dan, rasanya, cuma sekali itu saja saya coba makan. Itupun sudah melalui proses masak. Saya juga termasuk orang yang geli atau malah ngeri pada ulat sagu. Ketika memakannya, saya terbayang ulat sagu yang masih hidup yang terus menggeliat-geliat. He-he-he.