Pagi ini, saya menyempatkan waktu 1 jam untuk membaca buku, sebelum melakukan aktivitas yang lain. Buku yang saya sedang baca saat ini adalah buku karangan Anom Whani Wicaksana yang berjudul Ridwan Kamil Pemimpin Kreatif Era Milenial. Sebetulnya, saya tidak mengenal penulis ini. Namun, di bagian akhir buku ini, diberikan sedikit keterangan tentang si penulis. Anom Whani Wicaksana lahir, di Yogyakarta, 26 Juni 1980. Ia berminat pada dunia literasi, terutama kajian sejarah dan penulisan biografi. "Woh.. keren," kata saya dalam hati. Saya tidak rugi beli buku ini di Kompas Gramedia Jl. Panjang, Kb. Jeruk semalam, yang saya dapat secara kebetulan.
Karya pertama Anom yang diterbitkan adalah Soe Hok Gie Tak Pernah Mati: Catatan Sang Demonstram (Yogyakarta: Octopus, 2015). Saya pernah beberapa kali melihat buku ini dipajang di toko buku Gramedia, tapi tidak dibeli karena tidak tahu siapa penulisnya. Next time, saya akan beli bukunya, karena sekarang saya sudah tahu siapa penulisnya. He-he-he. Kadangkala, kita perlu selektif dalam membeli buku, supaya bacaan yang kita konsumsi tetap terjaga kualitasnya. Namun, menurut A. S. Laksana, kita juga perlu membaca buku yang kualitas tulisannya jelek, supaya kita tahu seperti apa tulisan yang jelek itu. He-he-he.
Oke, jadi apa yang Anom Whani Wicaksana ingin sampaikan kepada pembaca dalam bukunya Ridwan Kamil Pemimpin Kreatif Era Milenial? Dalam buku ini, Anom menceritakan banyak hal tentang sosok Ridwan Kamil, secara khusus, ia menyoroti kepemimpinan Kang Kamil.Â
Menurutnya, Ridwan Kamil adalah sosok pemimpin yang tegas dan berani. Ia suka bergaul bersama warga, bahkan mengajak warga yang kurang mampu untuk makan bersama. Namun, sebelum Kang Kamil menjadi walikota Bandung dan kemudian menjadi Gubernur Jawa Barat, ia mesti melalui masa-masa sulit dalam hidupnya. Sang penulis buku ini bertutur tentang perjalanan panjang yang dilalui Kang Kamil, di antaranya menjual es mambo, mengalami kehilangan sang ayah menjelang akhir masa studi di ITB, bertahan hidup di AS dengan makan sehari sekali, menemani sang istri melahirkan anak pertama mereka di sebuah rumah sakit khusus untuk orang tidak mampu.
Namun, pada akhirnya, perjuangan studi di AS penuh risiko pun berakhir dan membuahkan buah manis. Kang Emil sangat tersentuh oleh kata-kata ibunya, "Mencari uang itu bisa ada gantinya, tapi kalau membuat orang lain pintar, tidak akan terukur nilainya." Karena kata-kata sang ibu, Kang Emil jadi ingin pulang ke Indonesia. Dan, pada tahun 2002, Kang Emil pulang ke Indonesia. Sesampainya di Bandung, ia langsung bergabung sebagai staf pengajar di ITB, alamaternya. Bagaimana kelanjutan cerita Kang Emil sepeulangnya ke Indonesia dapat kalian baca sendiri di dalam buku Anom Whani Wicaksana.
Saya memang belum membaca tuntas buku ini. Saya baru membaca tiga bab awal. Dari tiga bab awal ini, saya ingin mengajak kalian berefleksi sedikit dari perjalanan panjang studi Kang Emil. Setidaknya, ada dua poin yang menjadi refleksi kita bersama pada hari ini. Â
Pertama, setiap perjalanan studi diwarnai oleh berbagai kesulitan. Bagaimana cara kita mengatasi setiap kesulitan itu bergantung pada kemampuan diri kita. Kang Emil, sewaktu studi di ITB, dia mengalami "malam gelap" bagi jiwanya, yakni kehilangan ayahnya. Tetapi, dia tidak memilih tenggelam dalam kesedihannya. Sebaliknya, dia memilih untuk bangkit dan berprestasi. Dia membuktikan kepada almarhum ayahnya bahwa, dia bisa menjadi mahasiswa yang berprestasi. Terbukti, dia lulus kuliah di ITB dengan nilai A++, sebuah pencapaian yang jarang didapat oleh mahasiswa saat itu.Â
Lalu, sewaktu mendapat beasiswa studi S-2 di As, dia harus hidup ngirit bersama istrinya. Untuk bertahan hidup di AS, ia bekerja paruh waktu di Dapartemen Perencanaan Kota Berkeley. Setiap hari ia hanya bisa makan dengan menu murah seharga 99 sen. Kenyataan pahit lainnya adalah ketika ia harus menemani istrinya melahirkan. Ia mengaku kepada pemerintah kota setempat sebagai orang miskin untuk mendapatkan pengobatan gratis. Kang Emil tidak memilih menyerah terhadap keadaan, tapi dia memilih menghadapinya dengan berani.
Kedua, dibalik kesuksesan studi ada orangtua yang selalu mendukung. Setelah merampungkan pendidikan masternya, Kang Emil mendapat pekerjaan di firma arsitektur Amerika-Hongkong. Berkat pekerjaan barunya ini, ia dan keluarga kecilnya bisa mendapat penghidupan yang lebih layak. Ia juga semakin menikmati hidup dan pekerjaannya. Saya yakin, seadainya ibunya tidak pernah menasihatinya, kemungkinan Kang Emil  tidak kembali ke Indonesia. Saya punya beberapa teman yang setelah menyelesaikan studi di AS, mereka tidak kembali lagi ke Indonesia.Â
Mereka memilih hidup dan bekerja di AS. Bahkan, ada yang telah menjadi warga negara AS. Orang-orang yang sudah berada dalam zona nyaman akan sulit keluar dari zona nyaman mereka. Bersyukur Kang Emil bukan tipe orang yang seperti itu. Meskipun sudah sukses bekerja di AS, dia memilih pulang ke Indonesia, untuk mengabdi bagi kampus ITB, selanjutnya bagi kota Bandung dan Jawa Timur. Ini semua berkat orangtuanya, khususnya sang ibu yang senantiasi mendukungnya.