Riset terbaru dari Harvard Business Review (baca di sini) menunjukkan bahwa masuknya seseorang ke universitas bukan jaminan bahwa seseorang akan memiliki keterampilan. Ijazah dan gelar juga tidak menjamin seseorang mendapatkan pekerjaan layak atau menuntun pada kesuksesannya meniti karier. Hasil studi ini menyalahkan falsafah masyarakat pada umumnya: asal dapat gelar, nanti cari kerja gampang. Tulisan ini hendaknya menjadi refleksi untuk kita anak muda Papua, apakah tujuan kita bersekolah setinggi mungkin adalah hanya sekedar mencari Ijazah dan merek, parahnya sekadar gaya-gayaan? Atau kita memang secara tulus mengejar keterampilan agar dapat berkontribusi secara baik buat Tanah ini?
Ketika Paradigma sekolah bergeser dari “Pemberi keterampilan” menjadi “Pemberi Ijazah”
Konsep Sekolah itu muncul saat masyarakat menyadari bahwa dibutuhkan pengakuan dan pernyataan formal tentang seseorang bahwa ia memiliki keahlian tertentu. Muncullah ide untuk memformalisasikan program pembekalan keterampilan tersebut oleh sebuah lembaga yang diterima masyaraka yang disebut “sekolah” saat ini. Sebagai bentuk penjaminan secara resmi, sekolah kemudian mengeluarkan surat pernyataan bahwa individual tersebut memang telah memiliki keterampilan tertentu, yang sudah dites dan dievaluasi secara akuntabel, yang kemudian di kenal luas sebagai “ijazah”.
Ironisnya, di negara berkembang termasuk Indonesia, masyarakat menganggap sekolah hanya sebagai tempat di mana mereka dapat memperoleh ijazah tersebut. Lupakan apakah keterampilan sudah didapatkan atau belum, yang penting ketika turun ke masyarakat dan industri, mereka dapat menunjukkan “ijazah” mereka.
Hal ini berbahaya, ketika fokus mereka saat berada di sekolah adalah hanya untuk menyelesaikan assessment (ujian, tes, dll) dengan motivasi utama mendapatkan ijazah, tanpa fokus kepada mengejar keterampilan. Alhasil, ini menjadi penyebab utama skandal nasional, sebut saja mencontek berjamaah saat UAN, “membeli” ijazah tanpa hadir dan sekolah, kasus universitas abal-abal yang memberikan gelar kepada sejumlah pejabat di seluruh negeri, dan sejumlah kasus memalukan lain.
Sebagai akibatnya, hanya ada dua hal dari memiliki ijazah tanpa keterampilan ini, yaitu apakah masyarakat dan industri menerima mereka dengan keahlian yang tidak memadai yang kemudian berdampak negatif terhadap performa pekerjaan mereka (Skill Miss-match), atau si individual tersebut, karena tidak secara praktikal (selain dari hanya menunjukkan ijazahnya) menunjukkan kemampuannya mengerjakan sesuatu sesuai dengan apa yang tertera pada ijazahnya tersebut, tidak diberikan pekerjaan oleh industri, bisnis, dan sektor pemerintahan (pengangguran).
Data BPS terakhir menunjukan meningkatnya angka pengangguran di Provinsi Papua dan Papua Barat (di Provinsi Papua sendiri, angka pengangguran terakhir meningkat dari 3.44 % di tahun 2014 menjadi hampir 4% pada di tahun 2015). Angka tersebut adalah pengangguran terbuka, tanpa jumlah pengangguran lain seperti pengangguran musiman, konjungtur, dan struktural, yang hasilnya bila ditotal, bisa menunjukkan angka yang jauh lebih tinggi.
Ironisnya, seperti dikutip dari wawancara media-media lokal di Papua, rektor UNCEN (Universitas Cenderawasih) beberapa waktu lalu mengaminkan meningkatnya jumlah mahasiswa Papua yang mendaftar ke perguruan tinggi, yang mencapai tiga kali lipat pada satu dekade terakhir, jauh melebihi daya tampung kampus-kampus lokal di Papua dan Papua Barat. Sampai tahun 2012 berdasarkan data Kemendikbud saja total mahasiswa dari kedua provinsi di Papua mencapai 70 ribu orang. Data lain dari BPS menunjukkan jumlah pencari kerja tiap tahun bertambah, dan pengangguran tiap tahun naik sebanyak 5,000-an orang, dengan dominasi pencari kerja tersebut adalah lulusan perguruan tinggi.
Kita bisa simpulkan bahwa Pemerintah Daerah telah berhasil melakukan investasi tinggi untuk mengirimkan anak-anak Papua bersekolah ke universitas, baik di Papua, luar Papua, dalam negeri, luar negeri, sampai tingkat master dan doktor (dilihat dari meningkatnya jumlah mahasiswa dan lulusannya). Hal ini baik adanya, akan tetapi tingkat pengangguran juga meningkat, dan laporan dari BPS menyatakan sampai 10% (dengan tren meningkat dan dominan), bahwa pengangguran tersebut adalah lulusan perguruan tinggi.