Mohon tunggu...
Billy H
Billy H Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Ilmu Komputer 2015 di Universitas Sumatera Utara, Graphic Designer, Front-End Web Developer, Writer, Blogger, dan Kaskus Kreator. Blog: billy-halim.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kasus Patung Dewa di Tuban sebagai Ancaman Persatuan Bangsa

10 Agustus 2017   09:21 Diperbarui: 10 Agustus 2017   11:20 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memasuki bulan Agustus, seharusnya kita berbahagia karena bulan ini merupakan bulannya kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945, Ir. Soekarno membacakan teks proklamasi kemerdekaan yang artinya negara kita sudah menjadi negara yang merdeka dan terbebas dari penjajahan bangsa lain. Tinggal seminggu lagi untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia. 

Akan tetapi, akhir-akhir ini, sebuah kasus intoleransi yaitu rencana perobohan patung dewa Kwan Seng Tee Koen di Tuban yang kini heboh di dunia maya mencemari bulan Kemerdekaan kita. Sungguh mengherankan kenapa mereka meributkan patung dewa tersebut padahal patung itu terletak di dalam kelenteng (bukan di area publik) dan Kwan Kong merupakan dewa yang dipuja di dalam aliran TriDharma (Kong Hu Cu, Tao, dan Buddhisme). Kong Hu Cu dan Buddhisme merupakan agama yang diakui di Indonesia. Kasus ini bisa disebut sebuah pelanggaran terhadap KBB (Kebebasan Berkeyakinan/Berkepercayaan).

Orang-orang yang meributkan patung tersebut memang sengaja ingin memecahbelah persatuan bangsa. Sungguh memprihatinkan bahwa di Indonesia masalah intoleransi masih saja belum selesai. Apa alasan mereka meributkan patung dewa tersebut di Tuban? Apa begitu mudahkah iman mereka luntur hanya dengan melihat patung yang berdiri di dalam kelenteng? 

Patung ya tetap patung, tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa bergerak, dan tidak bisa marah. Patung itu adalah sebuah seni dan dalam ranah spiritualitas disebut sebagai simbol semangat perjuangan. Umat yang melihat patung tersebut diharapkan bisa mencerminkan sifat-sifat tokoh yang direfleksikan dengan patung tersebut. Terlebih lagi, patung-patung seni yang ada bisa menjadi hiasan di sebuah kota dan menarik daya tarik wisatawan. 

Sungguh tidak masuk akal mengapa mereka meributkan patung yang ada di dalam kelenteng. Mereka memang ingin menimbulkan konflik di masyarakat yang ber-bhinneka ini dengan membandingkan tinggi patung dewa dengan tinggi patung Jenderal Sudirman. Apa hubungannya? Patung dewa Kwan Kong berada di dalam kelenteng, sudah berada di ranah agama sedangkan patung Jenderal Sudirman berada di area publik. Mereka yang meributkan patung dewa tersebut bisa dibilang anti-Pancasila karena telah menggangu keberagaman di Indonesia. 

Kapankah masalah intoleransi ini akan berakhir? Bukankah lebih enak jika masyarakat hidup damai berdampingan satu sama lain walaupun dengan latar belakang suku, ras, agama, dan golongan yang berbeda-beda? Sangat penting bagi setiap orang menumbuhkan rasa kesadaran akan berkah kebhinnekaan di negara kita. Kita hendaknya bersatu untuk mencapai cita-cita bangsa. Empat pilar kebangsaan kita (Pancasila, UUD'45, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI) sungguh-sungguh harus kita jaga dengan baik-baik. Sangat indah jika masyarakat bersatu dalam keberagaman. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun