Mohon tunggu...
Billy Antoro
Billy Antoro Mohon Tunggu... -

Senang pada hal-hal baru dan menuliskannya di media.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

49. Istikharah

8 Juli 2014   22:54 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:58 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Panas terik menyengat. Bedug magrib lima jam lagi. Memet mengusap peluh yang menjalari sekujur kulitnya. Dilihatnya Cepi sedang berleha-leha di bawah pohon beringin rindang.

Memet duduk dan langsung gelosor di samping sahabat karibnya. “Besok kamu pilih siapa, Cep? JW-JK atau PS-HR?”

Cepi nyengir. “Siapa ya... kasih tahu nggak ya... Kamu sendiri?”

“Ditanya kok malah balik tanya? Jawab dulu pertanyaanku dong!” Memet sewot.

“Aku belum tahu. Aku nanti tanya Tuhan dulu.”

“Tanya Tuhan? Memang kamu malaikat? Pake tanya Tuhan segala. Sok suci kamu, Cep!”

“Lho, memang cuma malaikat yang bisa ngobrol dengan Tuhan? Kita juga bisa, Met!”

Memet bangkit, berdiri, lalu menuding Cepi. “Met, kamu baru salat tarawih saja sudah ngaku bisa ngobrol sama Tuhan! Nanti lama-lama kamu ngaku-ngaku nabi! Kafir kamu, Cep!”

Cepi kaget. Ia tak menduga Memet begitu serius menanggapi ucapannya.

“Lagi pula, apa sudi Tuhan bicara dengan orang kotor macam kita? Mana ada koruptor yang dekat sama Tuhan! Ngawur kamu, Cep!”

“Kamu jangan mudah mencap orang sebagai kafir, Met! Ingat, ini sedang hari tenang. Dilarang kampanye apalagi kampanye hitam!”

Memet nyengir. Ia garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Suaranya pelan. “Oh iya ya, jangan bilang siapa-siapa ya, Cep!”

“Ingat kata Pak Ustad semalam saat kultum tarawih, Met, kita bisa ngobrol dengan Tuhan lewat salat. Aku mau salat istikharah dulu.”

“Salat istikharah?”

“Iya, kalau kita dilema memilih di antara dua pilihan atau lebih, kita minta petunjuk Tuhan mana yang terbaik dipilih. Kan Tuhan yang paling tahu mana yang terbaik buat hamba-Nya. Ya salat istikharah itu.”

Memet manggut-manggut. “Salatnya nanti malam?”

Cepi mengangguk.

“Paling kamu nonton pertandingan Brasil-Jerman, Cep!”

“Kan bisa diatur jadwalnya. Kamu itu suuzan melulu sih, Met. Capek aku meladenimu.”

“Ya sudah, kalau capek minum saja!”

Cepi mendesah prihatin. Memet nyengir, merasa berhasil mencandai sahabat karibnya.

“Met, apa kamu masih ingat kata Pak Ustad semalam? Dia bilang, segala sesuatu sudah tertulis di lauh mahfuz. Berarti nama presiden yang akan kita pilih besok sudah terdaftar di lauh mahfuz, dong? Kalau begitu, buat apa kita repot-repot milih?”

Cepi mendelik, mengingat-ingat ceramah semalam. “Meskipun nama presiden kita sudah Dia tentukan, tapi kita tetap harus ikhtiar menjalankan kewajiban kita sebagai warga negara. Soal siapa yang akan terpilih, bukan urusan kita lagi. Pokoknya besok kita milih, jangan golput!”

“Kalau kita besok tidak memilih pun, pasti presidennya presiden pilihan Tuhan.” Memet merajuk.

Cepi menahan sabar. Ia mulai geregetan. “Hikmahnya bukan itu, melainkan bagaimana kita menjadi warga negara yang baik. Kita yakin presiden RI nanti pilihan Tuhan, apapun yang kita lakukan seperti kampanye hitam atau negatif, percuma saja. Sekuat apapun makar yang dilancarkan, kita tak akan bisa mengubah ketentuan-Nya.”

Memet manggut-manggut lagi. “Jadi, orang-orang yang saling memaki, menghujat, dan memfitnah dengan tujuan menjatuhkan salah satu capres percuma saja, Cep?”

“Tentu. Siapa yang bertarung, siapa yang berkuasa. Siapa buntung, siapa untung. Ini semua hanya cobaan. Istilah kerennya, dunia ini hanya senda gurau.” Cepi coba mengingat penuh kalimat Pak Ustad semalam, tapi prosesor otaknya tak cukup mampu melakukannya.

Tiba-tiba Memet tertawa lalu memukul-mukul tubuh Cepi.

“Lho, kok kamu mukul-mukul aku, Met?” Cepi berusaha menghindar dari serangan bertubi-tubi Memet.

“Lho, ini kan cuma senda gurau, Cep!”

“Tapi bukan begini caranya, Met. Dasar kamu ka...”

Memet menghentikan serangannya. “Tuh, kamu mau bilang aku kafir, kan?!”

“Nggak, aku nggak mau bilang kamu kafir.” Cepi pelan-pelan melangkah mundur. “Aku Cuma mau bilang bahwa kamu itu ka... ka... kambing bau! Hahahaha!” Cepi berlari meninggalkan Memet.

Memet baru saja hendak mengejar Cepi tapi ia mengurungkan niat. Dibasuhnya keringat yang terus berleleran di lehernya, diciumnya keringat itu, dan tiba-tiba ia merasakan perutnya mulai mual-mual. Keringat Memet memang bau kambing.*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun