Pada tuisan sebelumnya berjudul "Surat dari Tanah Karo untuk Megawati Soekarnoputri" yang sudah saya publikasikan di Kompasiana tergambar tentang bagaimana kecintaan Rakyat Karo terhadap sosok Soekarno, Prokalamator yang juga sering disebut sebagai "Bapa Rayat Sirulo" di Tanah Karo. [caption id="" align="aligncenter" width="595" caption="Rumah Pengasingan Soekarno di Berastagi, Tanah Karo (wordpress.com)"][/caption] Kecintaan yang telah mendarah daging kepada sosok Soekarno ini, ternyata telah membawa dampak menyedihkan kepada pergerakan politik masyarakat Karo selama masa Orde Baru (ORBA). Seperti yang pernah diungkapkan oleh Prof DR Drs H Alinafiah Sitepu yang merupakan Sekretaris Penyelenggara Pemugaran dan Peresmian Rumah pengasingan Bung Karno di Berastagi, bahwa Karo salah satu etnis di sumatera Utara, selama 32 tahun mendapat tekanan dari Pemerintahan Orde Baru, karena dinilai sebagai masyarakat penganut ajaran Bung Karno. Alinafiah Sitepu mengungkapkan beberapa tekanan kepada putra-putra Karo, di antaranya, Alm. Letjen TNI Jamin Ginting, yang dijanjikan akan dijadikan KSAD bila memenangkan Partai Golkar pada Pemilu 1971, ternyata "dibuang" sebagai Dubes di Kanada dan meninggal di Kanada. Hal yang sama juga dialami oleh mantan gubernur Sumut priode tahun 1965-an, Ulung Sitepu, meninggal di penjara setelah dituduh "beraliran kiri" karena menganut ajaran Bung Karno. Dia juga mengatakan bahwa sejak Pemerintahan Orde baru, tidak satupun putra-putri Karo yang bisa naik kariernya khususnya di dunia birokrasi, meski sejak awal kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, masyarakat Karo tidak pernah memberontak kepada negara kesatuan RI. Sementara penyataan lain pernah diungkapkan oleh Guruh Soekarno Putra ketika memberikan kata sambutan pada saat berlangsungnya peletakan batu pertama Pemugaran rumah pengasingan Bung Karno di Berastagi, bawha orang Karo begitu cinta terhadap sosok Soekarno karena adanya ikatan emosional Bung Karno dengan masyarakat yang sangat dekat, sehingga ajaran-ajaran tokoh proklamator dan Presiden RI pertama itu, sampai saat ini masih tetap berakar dan melekat dihati sanubari seluruh rakyat Karo. Pasca Reformasi tahun 1998, masyarakat Karo telah tampil untuk kembali lagi berkecimpung di tengah-tengah percaturan perpolitikan Tanah Air. Terbukti pada Pemilu tahun 1999 mengantarkan enam orang Karo duduk di Senayan. Meski turun menjadi tiga orang pada tahun 2004. Akan tetapi jumlah tiga orang tersebut masih diatas rata-rata reprensentasi suku Karo. Analoginya begini, andai jumlah orang Karo katakan satu juta jiwa, maka persentasenya adalah 0,5% dari 200 juta lebih populasi Indonesia. Jadi bila ada tiga orang wakil dari 500-an angota dewan maka angka tersebut masih diatas rata-rata. Lebih jauh dari itu, munculnya beberapa nama dari kalangan Karo dalam kepengurusan partai merupakan satu hal yang menggembirakan. MS Kaban menjadi ketua partai PBB, Tifatul Sembiring di PKS, Sahrianta Tarigan di PDS, serta yang lainnya merupakan indikasi peran Karo terhadap dunia politik sudah mulai pulih kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H