Mohon tunggu...
Bill Nope
Bill Nope Mohon Tunggu... -

Nama : Bill Nope TTL:Kupang, 02 November 1979 Pekerjaan: Dosen pada FH Universitas Nusa Cendana kini sedang melanjutkan studi pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada-Jogjakarta

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pergeseran Nilai Demokrasi

13 Oktober 2010   06:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:28 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu daerah otonom setingkat propinsi yang ada di Indonesia. Sejarah istimewanya provinsi ini berkaitan erat dengan maklumat kerajaan yang dikeluarkan oleh Sultan HB IX dan Paku Alam VIII kepada kepada Presiden Soekarno pada 5 September 1945. Maklumat ini menyatakan bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat (baca: Kesultanan Yogyakarta) dan Kadipaten Pakualaman adalah daerah istimewa yang bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). DIY secara formal dibentuk dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 Jo UU No 19 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kedua Undang-Undang ini diberlakukan pada tanggal 15 Agustus 1950. Sejak saat itu Provinsi DIY yang mempunyai asal usul pemerintahan sejak dulu ini dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono (sebagai Gubernur) dan Sri Paduka Paku Alam (sebagai Wakil Gubernur).

Pro Kontra Pemilihan Gubernur

Berstatus Istimewa, provinsi ini telah tumbuh menjadi salah satu provinsi yang berkembang dengan pesat. Ibukota Yogyakarta melekat dengan predikat ‘miniatur Indonesia' karena kota ini merupakan tujuan utama mahasiswa se-nusantara yang hendak menimba ilmu. Seiring perkembangan demokrasi di Indonesia, perjalanan kepemimpinan Sultan HB X dan Sri Paku Alam IX(yang otomatis) menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur mengalami pro dan kontra. Hal ini terjadi ketika masa jabatan Sultan HB X akan berakhir pada periode I (tahun 2003) dan periode II (tahun 2008). Pada akhir periode I (tahun 2003) DPRD DIY menginginkan pemilihan Gubernur dilakukan sesuai Undang-undang No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah (pemilihan oleh DPRD). Namun kebanyakan masyarakat Yogyakarta menghendaki agar Sultan HB X dan Paku Alam IX ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Akhirnya Sultan HB X dan Paku Alam IX ditetapkan/diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur untuk masa jabatan kedua (2003-2008). Kemudian ketika masa jabatan Sri Sultan HB X dan Paku Alam IX berakhir di tahun 2008, masalah lain muncul karena UU Keistimewaan DIY belum selesai digodok oleh DPR RI. Alhasil, masa jabatan Sultan HB X dan Paku Alam IX diperpanjang hingga 1 Oktober 2010. Penyerahan Draft RUU Keistimewaan DIY (versi Pemerintah dan DPRD DIY) telah dilakukan oleh DPRD DIY ke DPR. Namun sebelumnya, dibalik penyerahan ini dalam tubuh DPRD DIY terjadi perdebatan panjang tentang mekanisme penetapan atau pemilihan. Sebagian anggota DPRD DIY mendukung penetapan (baca: kubu konservatif) yang berhadapan dengan kubu yang menginginkan pemilihan (baca: kubu liberal).

Pergeseran Nilai

Yogyakarta sebagai kota budaya tidak luput dari efek modernisasi yang membuka peluang terjadinya pergeseran nilai/budaya. Hal ini bisa dilihat dari perubahan yang terjadi pada sebagian masyarakat DIY (khususnya elit politik kubu liberal) ketika dihubungkan dengan istilah ‘pengangkatan' atau ‘pemilihan' terhadap Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Polemik pengangkatan atau pemilihan ini membuktikan bahwa sebagian masyarakat yang terwakili dalam DPRD DIY memilih jalan demokrasi liberal dengan meninggalkan budaya lama (feodalisme). Biasanya masyarakat seperti ini tidak memiliki hubungan kultural yang erat dengan raja (baca: sultan). Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kata Demokrasi adalah Jargon utama mereka. Terdapat tiga dimensi utama demokrasi (politik) yaitu : kompetisi, partisipasi, dan kebebasan politik dan sipil. Mekanisme pemilihan terhadap kepemimpinan politik di DIY dianggap sebagai jalan menuju demokrasi yang sebenarnya yakni pemerintahan yang berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.

Kepentingan Politik

Kepentingan politik (partai dan elit) baik di pusat maupun di DIY ikut menambah rumit polemik pengangkatan atau pemilihan Gubernur DIY selama ini. Kita sama-sama tahu bahwa Sultan Hamengku Buwono X pernah menjadi petinggi partai Golkar , pernah mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilu presiden tahun 2009 dan kini beliau adalah salah satu pendiri Organisasi Massa Nasional Demokrat yang diprediksi akan berubah wujud menjadi partai politik. Ketika sang raja telah ‘berjubah' partai politik maka rakyatnya boleh mengikuti garis politik raja atau bahkan memilih garis politik yang lain.

Demokrasi melalui Penetapan

Walaupun masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2009-2014 hingga tulisan ini dibuat, Pemerintah dan DPR belum juga menetapkan RUU Keistimewaan DIY ini. DPR dan Kementerian Dalam Negeri seolah menutup mata terhadap persoalan ini. Persoalan Keistimewaan DIY saat ini hanya berkutat pada perdebatan klausul/pasal tentang mekanisme penetapan atau pemilihan terhadap Gubernur dan Wakil Gubernur. Tidak sedikit kecaman datang dari berbagai kalangan tentang lambannya pengesahan RUU DIY. Sebagian besar masyarakat DIY masih menginginkan agar Sri Sultan HB X dan Sri Paduka Paku Alam tetap menjabat Sebagai Gubernur/Wakil Gubernur. Mereka menilai, Sultan adalah lambang budaya dan pemersatu rakyat. Bahkan, tidak sedikit yang mengancam jika dalam UU Keistimewaan DIY yang disetujui DPR, hasilnya adalah pemilihan langsung maka sebaiknya Provinsi DIY melepaskan diri dari NKRI. Pendapat lain mengatakan jika mekanisme pemilihan yang dipilih maka Sultan HB X dan Paku Alam IX tidak boleh ikut ‘bertarung" sebab posisi keduanya lebih tinggi dan terhormat dibanding jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur.

Polemik penetapan atau pemilihan bagi Gubernur dan wakil Gubernur DIY ini menggambarkan telah terjadinya pergeseran nilai-nilai demokrasi yang dianut selama ini. Bagi penulis, Kraton dan Puro Paku Alaman telah memberikan nilai sejarah dan nilai demokrasi tersendiri bagi rakyat dan keistimewaan DIY. Disini, kehendak rakyat untuk tetap mempertahankan trah Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman dalam kepemimpinan di DIY merupakan demokrasi yang sebenarnya. Mekanisme penetapan merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun