Mohon tunggu...
Bilik Sukma
Bilik Sukma Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pemuda mencoba menulis karena percaya bahwa menulis adalah pekerjaan menuju keabadian.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Perempuan di Titik Nol

20 Juni 2010   12:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:25 5494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_172515" align="alignright" width="150" caption="http://www.bukubagus.com"][/caption] Genre: Literature & Fiction Author: Nawal el - Saadawi Edisi pertama : Agustus 1989 Edisi Sembilan : Maret 2006 xiv + 156 hlm. : 11 x 17 cm Yayasan Obor Indonesia Awal saya tahu novel tentang ini yaitu ketika saya membaca sebuah tulisan berjudul “Perempuan dan Gugatan Terhadap Budaya Patriarki”. Dalam tulisan itu terdapat cerita dari novel yang berjudul “Perempuan di Titik Nol” karya Nawal El Saadawi. Ketika itu saya membayangkan bahwa itu merupakan sebuah novel yang besar dan tebal. Tapi ternyata novel itu merupakan novel kecil dan relative tipis namun sarat akan kegelisahan dan pemberontakan dari seorang wanita. Novel yang sangat pedas, dan penuh kejutan. Menghadirkan kepedihan dan ketidakadilan dari seorang wanita dari sudut feminin. Tidak aneh jika novel ini menjadi bacaan wajib para aktivis pejuang hak-hak permpuan. Seperti yang saya tahu misalnya Ratna Sarumpaet atau Mariana Amirudin (Jurnal Perempuan) telah membaca novel ini. Tokoh utama dari novel ini adalah seorang perempuan bernama Firdaus. Yang memilih jalan hidup sebagai pelacur. Firdaus punya filosofi hidup, “pelacur yang sukses lebih baik dari seorang suci yang sesat”. Secara singkat kehidupan Firdaus dapat digambarkan, “Hanya rias muka saya, rambut dan sepatu saya yang mahal itu saja yang masuk “kelas atas”. Dengan ijazah sekolah menengah dan nafsu keinginan yang tertekan, saya termasuk “kelas menengah”. Lahir saya tergolong kelas “bawah”. (hal. 16) Firdaus lahir dari keluarga miskin. Ayahnya seorang petani miskin yang tidak mampu membaca dan menulis. Hanya memiliki kemampuan dalam kehidupan seperti bercocok tanam, bagaimana menjual kerbau yang diracun sebelum mati, bagaimana menukar anak gadisnya dengan imbalan mas kawin bila masih ada waktu, atau bagaimana memukul istrinya dan memperbudaknya tiap malam. Setelah ayahnya meninggal Firdaus dimasukan sekolah oleh pamannya dan setelah ibunya meninggal, dia dibawa ke Kairo dan tinggal bersama pamannya. Diceritakan suatu ketika pamannya mendatangi tampat dimana Firdaus tidur. Kemudian terjadilah “pelecehan” dialami Firdaus yang dilakukan pamannya sendiri. Pamanya kemudian menikah dnegan puteri gurunya di El-Azhar. Setelah merasa rumahnya terlalu sempit kemudian Firdaus dikirim ke asrama sekolah. Di sana dia menemukan tempat yang disia-siakan. Tempat yang berada dihalaman belakang, tempat itu adalah sebuah perpustakaan. Dia mulai mencintai buku. Salah satu buku yang di bacanya adalah tentang para penguasa. Dari yang di bacanya dia mengetahui, “Saya dapat pula mengetahui bahwa semua yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan diantara mereka adalah kerakusan dan kepribadian yang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpul duit, mendapatkan seks dan kekuasaan tanpa batas. “ (hal. 39) Setelah lulus paman dan bibinya merasa Firdaus merupakan beban bagi keluarga mereka. Karena dia belum juga mendapat pekerjaan. Akhirnya bibinya memberi gagasan agar Firdaus dinikahkan. Firdaus akhirnya menikah dengan Syekh Mahmoud, pria berumur enam puluh tahun sedangkan Firdaus belum lagi berumur sembilan belas tahun. Di dagu Syekh Mahmoud, dibawah bibirnya terdapat bisul yang membengkak lebar, dengan sebuah lubang ditengah-tengahnya. Beberapa hari lubang itu kering dan dihari-hari lainya bisa berubah menjadi sebuah keran yang sudah karatan dan mengeluarkan tetesan berwarna merah seperti darah, atau putih kekuning-kuningan seperti nanah. Bau yang keluar dari bisul tersebut seperti bau bangkai anjing. Sauminya juga punya kebiasaan memukul Firdaus. Suatu ketika dia memukul Firdaus dengan tongkat berat hingga keluar darah dari hidung dan telinganya. Lalu dia pergi dari rumah suaminya tapi tidak kembali ke rumah pamannya. Dia pergi dengan berjalan di jalan raya dengan mata yang bengkak dan muka memar. Saat di perjalanan Firdaus merasa lapar dan haus, akhirnya dia berhenti dia warung kopi. Disana Firdaus bertemu pekerja warung kopi bernama Bayoumi. Bayoumi membawa Firdaus kerumahnya untuk tinggal ditempatnya sampai mendaptkan pekrjaan. Namun nasib sial menimpanya. Bayoumi bukanlah orang baik. Firdaus disekap di sebuah ruangan. Kemudian disana dia mendapat siksaan dan pemerkosaan. Firdaus berhasil kabur dari tempat Bayoumi, pergi sejauh mungkin. Sampai tanpa disadari dia tiba di pinggiran sungai Nil. Duduklah dia termenung menikmati semilir angin. Tiba-tiba dia bertemu dengan seorang perepuan bernama Shafira Salah El Dine. Kepada Shafira, Firdaus bercerita bahwa dia tidak punya siapa-siapa. Orang tuanya telah mati, begitu juga saudara laki-laki dan perempuannya. Shafira mengatakan “Semua orang harus mati Firdaus. Saya akan mati dan kamu akan mati. Dan yang penting ialah bagaimana untuk hidup sampai mati. Kita harus lebih keras dari hidup, Firdaus. Hidup itu amat keras. Yang hanya hidup ialah orang-orang yang lebih keras dari hidupnya sendiri.” Belakangan di ketahui bahwa Shafira adalah seorang pelacur. Dan mulailah disini Firdaus bekerja sebagai pelacur. Shafira sebagai mucikari Firdaus, pembayaran untuk Firdaus di serahkan melalui Shafira. Suatu ketika Fawzi—pelanggan Firdaus—mengatakan “Shafira menipumu, Firdaus.“ Sekali lagi Firdaus melarikan diri. Setelah kabur dari Shafira, Firdaus bekerja secara “mandiri” sebagai pelacur. Pada suatu kesempatan Firdaus pernah dihina sebagai wanita tidak terhormat oleh kawannya bernama Di’aa. Mendengar perkataan Di’aa, Firdaus merasa teguncang. Dia pun bertekad untuk menjadi wanita yang terhormat. Walaupun harus dibayar dengan nyawa. Akhirnya dia mendapat pekerjaan disebuah industri besar. Di tempat inilah dia bertemu dengan seorang pria bernama Ibrahim. Dia adalah seorang yang revolusioner. Pada suatu rapat besar bagi para karyawan Ibrahim berbicara tentang keadilan dan tentang pengapusan hak-hak istimewa yang diperoleh management dibandingkan dengan yang diperoleh karyawan. Kemudian Firdaus jatuh cinta pada Ibrahim. Hubungan merekapun semakin dekat, Firdaus membantu perjuangan dari Ibrahim dalam membela hak-hak karyawan. Namun berita buruk datang, berita tersebut mengatakan bahwa Ibrahim telah bertunangan dengan anak gadis sang presiden direktur. Firdaus merasakan rasa sakit yang luar biasa. Tak pernah ada yang benar-benar menyakitkan hati dan membuat menderita seperti sekarang dia alami. Kemudian dari pikirannya melintas, “Lelaki revolusioner yang berpegang pada prinsip-prinsip sebenarnya tidak banyak berbeda dengan lelaki lain. Mereka mempergunakan kepintaran mereka, dengan menukarkan prinsip mereka untuk mendapatkan apa yang dapat dibeli orang lain dengan uang. Revolusi bagi mereka tak ubahnya sebagai seks bagi kami. Sesuatu yang disalahgunakan. Sesuatu yang dapat dijual.” (hal. 128) Akhirnya Firdaus kembali ke lembah hitam, ke profesi yang telah diciptakan oleh lelaki. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang isteri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya merasa cerdas maka saya memilih untuk menjadi pelacur yang bebas dari pada seorang isteri yang diperbudak. (hal 133) Pada suatu ketika Firdaus bertemu dengan seorang germo. Dia mengancam Firdaus agar berbagi hasil dengan dia. Germo itu bernama Marzouk. Firdaus menyadari bahwa dia sudah tidak merasa sebabas yang dulu lagi. Dia tak lain hanyalah suatu mesin tubuh yang bekerja siang dan malam. Fidaus memberontak dan ingin kabur dari Marzouk itu, namun dihalangi. Pertengkaranpun terjadi, Marzouk mengeluarkan sebilah pisau, tapi Firdaus mampu merebutnya. Di hujamkanlah pisau itu ke leher Marzouk dalam-dalam, kemudian dicabut, ditusuk kembali di bagian perutnya. Ditusukan lagi kesemua bagian tubuh Marzouk. Firdaus telah membunuh Marzouk. Firdaus diamcam hukuman gantung. Karena telah melakuan pembunuh. Ada harapan dibebaskan jika Firdaus meminta surat permohonan kepada Presiden dan meminta maaf atas kejahatan yang telah ia lakukan. Tapi Firdaus menolak meminta grasi. “Saya lebih suka mati karena kejahatan yang saya lakukan daripada mati untuk salah satu kejahatan yang kau lakukan. Ketika saya membunuh. Saya lakukan hal dengan kebenaran bukan dengan pisau. Kebenaran saya itulah yang menakutkan mereka. Kebenaran yang menakutkan ini telah memberikan kepada saya kekuatan yang besar.” Sebuah novel yang sarat kritikan pedas dan opini yang berani. Tapi juga merupakan perjalanan kisah perempuan yang memilukan. Perempuan yang mengalami tekanan batin yang luar biasa. Perempuan yang menjalani keras dan derasnya laju kehidupan. PEREMPUAN DI TITIK NOL..!! Saya sedikit memberi kritikan pada novel ini. Bukan dari isinya melainkan dari terjemahannya. Berulang kali saya mendapatkan kata “sekonyong-konyong” yang artinya tiba-tiba. Membuat sedikit tidak nyaman ketikan membacanya. Ini bukan kali pertama, sebelumnya saya membaca novel “San Pek Eng Tay” yang di terbitkan juga oleh Yayasan Obor Indonesia. Dari novel itu saya juga mendapatkan kata “mendusin” yang artinya terbangun. Sedikit aneh saja, kata yang tidak baku seperti itu terus berulang-ulang. Monday, May 17, 2010, 11:29:31 AM PS : Kamis, 22 April 2010. Saya dengan berapa kawan saya hadir dalam “V Film Festival” (Festival Film Perempuan Internasional) di Komunitas Salihara, Pasar Minggu. Salah satu film yang saya tonton adalah film Indonesia berjudul, “Jamila dan Sang Presiden” karya Ratna Sarumpaet. Saat memonton film tersebut saya merasakan bahwa secara garis besar cerita dalam film “Jamila dan Sang Presiden” mirip dengan novel “Perempuan di Titik Nol”. Kesamaannya antara lain Firdaus dan Jamila sama-sama berprofesi sebagai pelacur, diperkosa pamannya, melakukan pembunuhan dan yang terakhir ialah sama-sama menolak grasi kepada presiden. Kebetulan disana ada Ratna Sarumpaet. Dan ketika saya tanyakan bahwa film itu mirip dengan novel Perempuan di Titik Nol. Dia tidak menyangkal bahwa di beberapa bagian memang ada kesamaan. Saya tidak menuduh bahwa Ratna Sarumpaet menjiplak novel tersebut, secara garis besar sama. Menurut saya filmnya bagus, walaupun terciderai dengan kemiripan dari novel Perempuan di Titik Nol. Jadi kalau tidak sempat membaca novel Perempuan di Titik Nol, nonton saja “Jamila dan Sang Presiden”. Ceritanya hampir sama. Saya sarankan kalau sudah baca novelnya, nonton juga filmnya. Begitu juga sebaliknya. Agar terlihat kesamaannya. Dan merasakan kedahsyatan novelnya. Irwan Sukma : Pecinta buku dan wanita. Jiaaelah..hihihi. :p

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun