Polemik kolom agama dalam KTP kembali mencuat. Pemicunya adalah pernyataan mendagri, Cahyo Kumolo yang mewacanakan pengosongan kolom agama bagi penduduk yang kepercayaannya tidak termasuk ke dalam agama yang resmi diakui Negara.. Tulisan ini mencoba menjelaskan persoalan tersebut dari perspektifpelayanan publik.
Awal bulan lalu ada seorang wanita yang akan menikah di kantor kami. Pasangannya adalah seorang Warga Negara Thailand. Laki-laki tersebut membawa berkas persyaratan berupafoto copi pasport, surat keterangan dari Kedutaan Besar Thailand di Jakarta dan card (kartu identitas sejenis KTP ). Pada card Thailand tidak ada kolom agama sementara laki-laki itu juga tidak dapat menunjukkan bukti bahwa ia seorang muslim seperti surat masuk Islam atau surat keterangan bahwa dia seorang muslim. Ketika kami mencoba membimbingnya agar mengucapkan dua kalimat syahadad ternyata ia tidak dapat berbahasa Indonesia maupun Inggris, dia hanya dapat berbahasa Thay. Akhirnya karena penulis ragu dengan status agamanya dengan terpaksa tidak dapat melayani pernikahannya. Sebab dalam Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya itu. Dan dalam hukum Islam perkawinan beda agama tidak sah.
Contoh kasus tersebutmenjadi buktibahwa bagi petugas pelayan publik pencantuman kolom agama dalam KTP sangat diperlukukan. Penghulu dalam melayani masyarakat berpedoman kepada bukti formal bukan keyakinan dalam hati, sebagaimana kaidah hukum; “ Nahnu nahkumu bi dhawahir” (kami menghukumi seseorang sesuai dengan bukti formal). Dan bukti formal keagamaan seseorang adalah status agama dalam KTP. Penghulu tidak akan menanyakan apakah dia paham tentang islam atau tidak, dapat membaca al qur’an atau tidak bahkan tidak akan bertanya apakah ia shalat atau tidak. Urusan kesalehan pribadi seseorang diserahkan kepada Allah.
Dalam perkawinan Islam ada yang dinamakan rukun, yaitu adanya dua mempelai, dua saksi, wali dan akad (ijab qabul). Selain kedua mempelai harus beragama Islam dua saksi dan walipun harusmuslim. Walaupun seorang ayah kandung berpendidikan tinggi, pejabat publik atau pongusaha sukses yang sangat sayang dengan putrinya yang muslimah, sang ayah tetap tidak diperbolehkan menjadi wali. Ketentuan hukum Islam ini diimplementasikan dalam Peraturan Menteria Agama (PMA) No. 11 tahun 2007 pasal 18-19.Bukti mereka semua itumuslim adalah ada pada kolom agama dalam KTP. Ketika penghulu tidak mengenal para pihak, daripadabertanya kepada mereka di majelis akad nikah yang sakral “bapak agamanya apa ?” tentu lebih sopan dan elegan bila cukup bertanya “maaf, mohon pinjam KTP untuk pengisian data”. Bisa dibayangkan betapa repotnya bila tidak ada kolom agama dalam KTP.
Kolom agama dalam KTP juga bukan hanya berguna ketika si empunya masih hidup. Saat matipun menjadi solusi praktis menghindari percekcokan. Penulis kembali sampaikan sebuah peristiwa yang terjadi di masyarakat. Ada sebuah keluarga yang memiliki anggota dengan beragam agama. Mereka ada yang taat ada juga yang hanya formalitas. Diantara yang formalitasitu adalah ayah dari keluaraga tersebut. Kepala keluaga itu muslim tetapi tidak menjalankan rukun Islam. Masyarakat sering menyebut Islam KTP. Tatkala sakit anak-anakmencoba “mendekatkan” sang ayah kepada Tuhan agar matinya baik sesuai keyakinannya masing-masing. Ketika sang ayah meninggal persoalan muncul. Dengan agama apa ayah mereka dirawat ?. Anak yang non muslim berusaha merawat ayahnya sesuai tradisi agamanya dan menurutnya sang ayah sudah dibaptis ketika sakit, sebaliknya anak yang muslim juga berusaha merawat sang ayah sesuai ajaran Islam. Dalam kondisi berkabung dan ketegangan tersebut akhirnya dapat dicarikan jalan keluar yaitu ayah mereka dirawat seusai agama yang ada dalam KTP ayah.
Contoh diatas juga menunjukkan bahwa kaum muslimin merawat jenazah yang hanya Islam KTP juga tidak mempersoalkan kesalehannya, bahkan juga tidak mempedulikan apakah do’a-do’a yang mereka lantunkan untuk mayit diterima Allah atau tidak. Yang ada pada benak masyarakat adalah bahwa kewajiban kifayah yang mesti ditunaikan ketika ada orang yang mati harus ditunaikan, yaitu memandikan, mengkafani, menshalati dan menguburnya. Kepastian status agama ini menjadi penting dan formalitas menjadi kata kunci untuk meredakan situasi. Formalitas dimaksud adalah kolom Agama dalam KTP.
Pengamalan Pancasila
Penganjur penghapusan kolom agama dalam KTP mengandaikan masyarakat kita itu seperti dalam keadaan kekacauan luar biasa, antar pemeluk agama saling membunuh dan menistakan atau bahkan terjadi semacam inquisisi sistematis. Setiap orang yang lewat di jalan tertentu dihentikan dan dimintai KTP, apabila satu agama dengan para pencegat dipersilahkan jalan dan bila berbeda diintimidasi. Padahal faktanya masyarakat kita sangat toleran, tidak ada yang mempersoalkan agama dalam KTP seseorang dan benda ini akan selalu di dalam dompet pemiliknya. Kolom agama dalam KTP bukanlah simbul agama seperti jilbab, kopyah dan salib, ia hanya identitas yang sewaktu-waktu untuk menjadi bukti administrasi dalam rangka memperoleh pelayanan publik sesuai dengan kayakinannya.
Secara ideologis kolom agama dalam KTP merupakan bentuk pelaksanaan sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Kalimatun sawa (konsensus nasional)tersebut telah menjadi jalan keluar dari percekcokan pendiri bangsa yang sangat panjang. Karena itu ide penghapusan kolom Agama dalam KTP hanya akan membangkitkan sentimen negative antar para pemeluk agama yang sudah kondusif. Biarlah cardNegara lain tidak ada kolom agama karena ideology mereka tidak mengharuskannya tetapi karena Negara ini memiliki ideologi tersendiri maka implementasi dalam kebijakan publikpun punya warna tersendiri. Wallahu’alam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H