Pendidikan memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas manusia, tidak hanya dari segi kompetensi yang unggul tetapi juga karakter yang kuat. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk membangun sistem pendidikan yang berkualitas guna menciptakan generasi penerus yang mampu menjalankan amanah bangsa di masa depan. Sistem pendidikan yang baik akan menghasilkan sumber daya manusia yang unggul baik dalam aspek kompetensi maupun karakter.
kebijakan yang dinilai kurang tepat hingga mendapat tanggapan negatif dari masyarakat. Contohnya adalah penerapan Kurikulum 2013 yang dianggap tidak dapat diterapkan secara merata di seluruh daerah, penghapusan mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), hingga rencana penerapan Full Day School di berbagai jenjang pendidikan mulai dari SD hingga SMA/SMK.Full Day School merupakan kebijakan yang digagas oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dengan tujuan meningkatkan kualitas pendidikan serta pembentukan karakter pelajar. Kebijakan ini juga diharapkan dapat memperbaiki sistem penilaian kinerja guru. Namun, meskipun memiliki keunggulan, kebijakan tersebut belum mampu mengatasi seluruh persoalan pendidikan, bahkan justru berpotensi menimbulkan masalah baru.
Dalam setiap pergantian kabinet pemerintahan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) selalu berupaya meningkatkan mutu pendidikan. Sayangnya, berbagai permasalahan sering muncul, mulai dariSalah satu kekhawatiran yang muncul adalah berkurangnya interaksi sosial siswa dengan lingkungan masyarakat. Bagi siswa SD yang berada dalam fase bermain dan bersosialisasi, penerapan Full Day School selama delapan jam sehari dapat mengurangi kesempatan mereka untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar, yang merupakan bagian penting dalam pembentukan kepribadian. Akibatnya, anak-anak berpotensi menjadi kurang peka terhadap lingkungan sosialnya.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Nasrorun, menilai kebijakan ini tidak ramah bagi anak-anak. Ia menegaskan bahwa anak-anak, terutama di jenjang kelas 1 hingga 3 SD, membutuhkan waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan orang tua agar terjalin kedekatan emosional yang baik. Terlalu lama di sekolah dapat mengganggu proses tumbuh kembang anak.
Lebih lanjut, peran seorang ibu sebagai pendidik pertama dalam keluarga juga menjadi perhatian. Jika waktu kebersamaan antara ibu dan anak berkurang akibat penerapan Full Day School, peran ibu dalam mendidik anaknya dapat terabaikan. Alasan yang menyatakan bahwa banyak anak tidak memiliki waktu berkualitas di rumah karena orang tua bekerja tidak sepenuhnya benar, mengingat umumnya ayah yang bekerja, sedangkan ibu biasanya berada di rumah.
Selain itu, penerapan Full Day School juga dapat berdampak pada pendidikan agama di pesantren. Dengan jadwal sekolah yang padat, waktu santri untuk mempelajari ilmu agama akan berkurang. Meskipun ada dispensasi libur pada Sabtu dan Minggu, kebijakan ini tetap dapat dianggap mengesampingkan peran agama dalam pembentukan karakter siswa.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) secara tegas menolak kebijakan Full Day School. Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj, menyatakan bahwa pendidikan karakter seharusnya dilakukan melalui kebijakan yang kreatif dan selaras dengan kearifan lokal tanpa menimbulkan gejolak di masyarakat.
Jika kebijakan ini tetap dijalankan, revisi mendalam perlu dilakukan untuk meminimalkan kelemahan yang ada. Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah membatasi penerapannya pada jenjang SMA/SMK yang bersedia. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan seharusnya lebih berfokus pada peningkatan kualitas waktu belajar-mengajar, bukan sekadar menambah durasi waktu sekolah.
Kesimpulannya, kebijakan Full Day School yang diusulkan oleh Kemendikbud memiliki tujuan mulia dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan pembentukan karakter siswa. Namun, kebijakan ini juga memunculkan berbagai tantangan dan dampak negatif, seperti berkurangnya interaksi sosial siswa, terabaikannya peran orang tua dalam pendidikan anak, serta potensi terganggunya pendidikan agama di pesantren. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi dan revisi kebijakan secara komprehensif dengan mempertimbangkan aspek sosial, psikologis, dan kebutuhan karakter bangsa. Solusi yang lebih bijaksana adalah memprioritaskan kualitas proses belajar-mengajar daripada hanya menambah durasi waktu sekolah, agar pendidikan benar-benar mampu mencetak generasi yang kompeten sekaligus berkarakter unggul.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI