Petrus (penembak misterius) yang dimunculkan pada tahun 80-an dinilai berhasil menurunkan dengan drastis tingkat kriminal yang waktu itu sudah sangat meresahkan masyarakat. Saya tidak tahu persis siapa-siapa Petrus itu atau dari satuan khusus apa yang telah dipilih, dibentuk dan ditugaskan untuk terjun ke dalam masyarakat untuk mencari dan membereskan pelaku-pelaku kriminal yang telah terdaftar sebagai penganggu keamanan dan ketentraman masyarakat.
Jelasnya para petrus itu melaksanakan tugas dalam metoda yang sama: seperti menciduk, membawa pelaku kriminal ke tempat terpencil, mengikat kedua ibu jari tangannya di belakang, menghabisi dengan menembak kepala pada bagian tertentu yang mematikan menurut teori intelijen atau pun angkatan bersenjata. Terakhir adalah memasukkan mayatnya ke dalam karung, dan meletakkan pada tempat yang memungkinkan untuk ditemukan masyarakat.
Sebegitu parah kondisi keamanan di tengah-tengah masyarakat waktu itu, hingga "entah siapa waktu itu" yang merasa perlu merancang dan melaksanakan tindakan yang ekstrim demi mencegah kerusakan masyarakat karena gangguan dan ancaman keamanan yang semakin terang-terangan, yang menciptakan ketakutan masyarakat pada pelaku kriminal yang kebal atau tak perduli dengan hukum yang ada. Tindakan ekstrim tersebut tentu saja menimbulkan pro dan kontra, khususnya berkaitan dengan pelanggaran ham dan khususnya aturan hukum atas ketentuan sikap praduga tak bersalah. Pada masa itu, tindakan ekstrim yang telah diambil ternyata tidak berbuntut panjang hingga dapat menyeret para penentu kebijakan ke meja hijau. Kebijakan berjalan, dan justru menimbulkan tendangan balik pada pelaku kriminal, sehingga pelaku dan bahkan mereka yang merasa tercirikan sebagai pelaku kriminal menjadi merasa takut, menghentikan prilakunya, dan menjadi jinak dihadapan masyarakat. Lalu semuanya reda sebagaimana target solusi yang diharapkan.
Kecemasan, keresahan, kejenuhan dan kemuakkan yang ditimbukan oleh pelaku-pelaku kriminal pada masyarakat di tahun 80-an sama persis sebagaimana yang ditunjukkan oleh para koruptor di tahun-tahun terakhir ini. Sikap koruptor yang terang-terangan membela diri dalam kebohongan, didukung oleh kepiawaian pengacara yang dibayar mahal, mampu mempengaruhi proses penyidikan hingga terkesan lamban. Lambannya penyidikan jelas menimbullkan kesan menyediakan waktu untuk berbenah, memungkinkan tawar-menawar pasal-pasal yang lebih ringan, dan memungkinkan menyaring bukti-bukti yang sudah tidak terelakkan lagi, semua itu adalah kondisi-kondisi yang secara jelas terbacakan oleh masyarakat dan entah sengaja atau tidak telah dijadikan skenario standar para pelaku hukum. Kemudian akhirnya, setiap penanganan kasus ke kasus berikutnya menjadi tampak jelas bahwa semua itu hanya pengulangan dari skenario standar saja.
Kejahatan korupsi tengah menuju puncak dan terus bergerak secara ekponensial. Melihat tingkat kecemasan, keresahan, kejenuhan dan kemuakkan masyarakat atas kejahatan dan penanganannya, maka "siapakah" yang merasa perlu merancang dan melaksanakan tindakan yang ekstrim pada pelaku dan penyerta kejahatan korupsi ini demi mencegah kerusakan masyarakat lebih lanjut karena gangguan dan ancaman budaya korup sudah semakin terang-terangan. Kejahatan itu telah menimbulkan kemuakkan masyarakat pada pelaku korupsi yang kebal atau tak perduli dengan hukum yang ada. Jika akhirnya Pekor diadakan, tentu dapat menimbulkan efek takut dan para pelaku dan penyerta korupsi tentu lebih memilih berhenti dari pada mati mengenaskan. Mungkin Pekor menjadi pilihan yang sulit, tetapi ketika semuanya sudah menjadi semakin rumit, pilihan yang sulit justru menjadi tumpuan harapan untuk melepaskan kerumitan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H