Gusar, hati panas, gigi gemeretak, terkadang meninju tembok, atau apapun bentuknya bisa merupakan suatu aksi untuk sekedar melepaskan beban tekanan emosi yang tengah menyesak di dada. Itulah kemungkinan yang terjadi bila seseorang mengalami pembatalan janji atau komitmen yang tidak diduga sebelumnya. Sikap demikian tentu tidak bisa digeneralisasikan ke semua orang.
Beban emosi karena persoalan di atas bisa dikatakan manusiawi. Apalagi bila komitmen tersebut sangat menentukan keberhasilan urutan aktivitas berikutnya, menimbulkan efek domino, serta berdampak finansial dengan resiko negative cash flow. Dalam skenario terburuk, akibat selanjutnya dapat menimbulkan kepanikan bagi sebagian orang, atau dalam sekala besar terjadi gerakan anarkis terhadap perusahaan besar yang bangkrut, yang tidak mampu membayar gaji atau pesangon pegawainya.
Siapa sebenarnya yang mampu menahan diri, atau terlihat tenang, seakan tidak terpengaruh sedikit pun oleh pembatalan janji? Pertama, umumnya ditunjukkan oleh mereka yang mengerti bahwa pembatalan itu tidak berdampak apa-apa pada perencanaannya, kecuali pergeseran jadwal. Kedua, umumnya oleh mereka yang telah menyiapkan secara detil urutan perencanaan aktivitas termasuk peran cadangannya. Ketiga, tentu saja mereka yang memiliki cadangan finansial yang besar.
Memutuskan untuk tidak menepati bisa disebabkan oleh banyak hal. Mulai dari masalah kurangnya sumber daya, kepadatan jadwal, kerusakan alat produksi, gangguan atau perubahan jalur transportasi, hingga pada kerusakan dahsyat akibat bencana alam atau bentuk kerusakan yang dikategorikan dalam force majeure (kerusakan diluar kendali).
Dalam keadaan dimana keputusan untuk tidak menepati dilakukan secara sepihak, atau tanpa alasan yang dapat diterima menurut aturan yang disepakati bersama, maka pembatalan ini dapat menimbulkan kerugian yang cukup berarti bagi kedua belah pihak. Bentuk kerugian bagi pihak yang dijanjikan telah dijelaskan di atas. Sementara kerugian bagi pihak yang membatalkan umumnya menyangkut masalah deklinasi dari kredibilitas, imej, serta pencitraan. Ketiga hal ini merupakan hal-hal penting dalam segala segi hubungan kemanusiaan, bisnis maupun politik. Kredibilitas, imej, serta pencitraan adalah hal-hal yang tidak dapat dinilai dengan uang.
Seseorang atau organisasi akan membutuhkan waktu panjang untuk menjadikan atau mengembalikan kredibilitas, imej, serta pencitraan dirinya sebagai modal dasar, dalam kepentingan hubungan baik secara pribadi dengan sahabat, dengan rekan bisnis, ataupun rakyat secara umum dalam kancah politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H