Mohon tunggu...
Bijogneo Bijogneo
Bijogneo Bijogneo Mohon Tunggu... profesional -

Menulis, membaca, mengomentari, dikomentari, ok-ok saja. http://bijogneo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Jangan Paksa Kami Melakukannya!

31 Agustus 2010   04:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:34 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Adalah hal yang biasa saja di tahun 2010 ini, bila sebagian murid kelas lima atau enam SD di kota-kota besar di Indonesia, sudah mengerti tentang apa kegunaan benda yang bermerek “BlackBerry”. Bila kita coba melihat lebih jauh lagi sampai ke pedesaan, kemungkinan besar sampai tingkat tertentu telepon genggam bukanlah hal yang baru lagi.

Daya serap atas pengertian kegunaan benda ini, selain dipicu oleh mudah dan terjangkaunya nilai informasi dan produk teknologi terapan bagi masyarakat saat ini, juga didukung oleh cepatnya pertumbuhan tingkat intelektual anak didik sebagai umpan balik dari terapan informasi dan teknologi itu sendiri.

Dibanding dengan orang dewasa, banyak dari mereka yang bahkan lebih fasih dengan fitur-fitur yang ada dalam benda tersebut. Bisa demikian karena dalam kesehariannya, mereka punya cukup waktu untuk membahas hal-hal baru tersebut dengan teman-temannya, atau membaca buku petunjuk, dan melakukan eksperimen serta mengulanginya.

Sebagian orang tua menganggap adalah hal yang wajar saja bila melengkapi putra-putrinya dengan benda ini. Dalam arti, keperluan orang tua akan kemudahan dalam berkomunikasi, serta dorongan untuk memperbaharui atau meningkatkan pengetahuan putra-putrinya akan perkembangan baru teknologi terapan yang digunakan secara umum.

Menurut data BPS, Angka Partisipasi Murni untuk tingkat Sekolah Dasar sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2008 adalah 93,98 % atau jika diekstrapolasikan secara kasar menjadi 94,56 % atau ada 26,5 % yang hanya memiliki pendidikan SD dari 237,6 juta jiwa penduduk Indonesia saat ini.

Mari kita hidupkan mesin waktu untuk kembali ke 30 tahun yang lalu. Zeebbb… kita berdiri di depan sekolah dasar di pinggiran kota, kebetulan jam istirahat anak-anak sekolah. Beberapa murid SD sedang berkumpul bercerita tentang film seri kartun BATMAN yang diputar seminggu sekali di TVRI, hanya itu satu-satunya stasion TV yang ada. Sebagian lagi sedang bermain sepak bola menirukan gaya-gaya pemain nasional seperti Roni Pattinasarany, Rully Nere atau Bambang Nurdiansyah atau petenis terkenal John MC Anroe atau Bjorn Borg dan sebagainya. Pembicaraan teknologi yang paling mutahir hanya berkisar pada film Star Wars Episode V. Tidak ada diskusi atau kemampuan argumentasi seperti anak-anak SD sekarang yang luas dan cukup dalam, sebagai dampak dari banjirnya informasi melalui macam-macam Stasion TV, Facebook, Twiter dan sebagainya.

Jika Angka Partisipasi Murni untuk tingkat Sekolah Dasar diekstrapolasi secara kasar ke tahun 1980, maka ada 85,9 % atau ada 37,5 % (55,3 juta) yang hanya memiliki pendidikan SD dari 147,5 juta jiwa jumlah penduduk Indonesia tahun itu.

Sekarang kita kembali ke tahun 2010. Jika saya asumsikan 10 % dari 55,3 juta tersebut masih ada, itu artinya mereka tergolong berusia sekitar 30 – 40 tahun, dengan jumlah sekitar 5,53 juta orang yang masih berjuang hidup dengan tingkat pendidikan SD saja. Bila saya asumsikan lagi bahwa 10 % nya adalah sebagai TKI yang bekerja di Malaysia, maka sedikitnya mereka ada sebanyak 553 ribu orang dengan pengetahuan dan intelektual tingkat Sekolah Dasar era tahun 1980-an.

Adalah menjadi keprihatinan bangsa, oleh sebab setidaknya sekitar 553 ribu jiwa ini telah dijadikan obyek taruhan pelecehan akan nilai-nilai kemanusiaan oleh pihak asing bagi martabat dan kejiwaan bangsa Indonesia. Keluguan serta standar pengetahuan mereka yang rendah telah dijadikan standar pemenuhan persyaratan minimum bagi buruh industri dengan pembayaran terendah untuk keuntungan sebesar-besarnya pihak asing di tempat mereka bekerja.

Leluhur bangsa ini, pastilah menitikkan air mata, bila bisa mengetahui putra-putrinya diperlakukan buruk, disebut Indon, dikejar, dicambuk, dimasukkan dalam sel, ditumpukkan dalam kapal, dan dilepaskan ditengah lautan, diusir dari tanah mereka, setelah putra-putri ini mengabdikan tenaganya dengan sepenuh hati, dan sejujurnya dalam keterbatasan pengetahuan yang dimilikinya untuk pihak asing yang menjadi besar, namun begitu congkaknya hingga sama sekali tidak menghargai sumbangsih itu dengan sepantasnya.

Tidak ada kalimat lain yang lebih tepat atas perlakuan ini selain “Hentikan! Atau kami yang menghentikan kelakuanmu!”

Bangsa ini ada 237,6 juta jiwa, pangsa pasar anda, karena ada jumlah potensial yang sangat diperhitungkan, yang membeli dan menggunakan produk anda. Sikap meremehkan anda, dapat memicu naluri "Gerilya Bambu Runcing" generasi muda kami. Lebih dikenal sebagai "Low Profile" namun cemerlang ketika dalam tekanan. Tidak ingin pamer, tetapi memiliki intelektualitas dan keahlian masuk ke dalam sistem transaksi online. Membuktikan dan membeberkan sikap tidak bersahabat anda, dapat dilakukan dalam sistem, dan hanya dalam hitungan jam, dimana ada kepentingan anda di seluruh dunia, akan dapat menerima pesan: “system failure”! Itu artinya kerugian finansial, dan baru sejumlah kecil dari harga yang pantas anda bayar.

Jangan paksa kami melakukannya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun