[caption id="attachment_71516" align="alignleft" width="298" caption="Sumber: Kompas"][/caption]
Indomie, supermie, bahkan Nasi Goreng dan sebagainya, adalah jenis-jenis makanan instan yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia . Instan berarti proses yang cepat atau seketika jadi.
Tidak hanya jenis makanan di atas saja, dunia komunikasi dan informatika sekarang juga telah menjadi instan. Di tahun '70-an, seorang bocah kelas 6 SD pernah mengirim surat bukan "Kilat" kepada kakaknya yang berada di seberang pulau. Dia mengabarkan bahwa mulai hari senin minggu depan akan mengikuti ujian kelulusan SD, tolong diberikan petunjuk bagaimana cara belajar yang efektif serta kiat-kiat mengerjakan soal-soal ujian nanti.
Dua minggu kemudian, bocah ini menerima balasan dan jawaban yang penuh semangat serta nasehat untuk belajar yang tekun dari kakaknya, sayangnya ujian si bocah sudah selesai...
Berbeda sekali dengan masa kini, komunikasi interaktif dapat dilakukan hanya dalam hitungan detik, kirim SMS: "Apa kabar?" dalam 2 detik kemudian terima SMS: "Kabar baik.." Berbeda dengan tahun '70-an, yang bertanya apa kabar sudah meninggal, jawaban baru diterima setelah dua minggu kemudian.
Kembali ke masa kini, beberapa tahun yang lalu (2005), masih ingat pelanggaran dan klaim dengan sengaja Malaysia atas Ambalat? atau klaim Malaysia atas lagu "Rasa Sayang" dan pakaian "Batik"? Itu adalah beberapa contoh yang sempat membuat sebagian masyarakat Indonesia kesal karena menunggu respon yang instan dari SBY yang tidak datang juga.
Soal tidak merespon instan SBY sebagai kepala negara tentu mempunyai alasan POLEKSOSBUD dan HANKAMRATA nya. Siapa lah saya atau anda bisa mengetahui alasan itu. Bukan levelnya lah yang pasti, untuk bisa mengetahui strategi pengambilan keputusan beliau. Sebagai mantan pimpinan ABRI, Jendral, pastinya dilihat dari latar belakang pendidikannya baik yang formal dan tidak, serta pengalaman sebagai pemimpin di pemerintahan sebagai Menko Polkam, dsb. tentunya sebelum mengambil keputusan akan melihat, dan menimbang segala variabel dalam dimensi yang lebih kompleks. Keputusan bukan diambil dari cara-cara yang sederhana, seperti hasil diskusi di kaki lima atau warung kopi atau mungkin talk show di TV atau koran atau tekanan massa melalui demonstrasi atau blog sosial. Tetapi sekali lagi, cara pandang beliau atas suatu masalah dicerminkan balik kepada pengetahuan luas apa yang dia miliki dan pada kemampuannya sebagai negarawan.
SBY bukanlah seorang politikus, karena jika demikian, ia harus bisa memenuhi tuntutan keinginan pihak yang lebih banyak, meskipun itu bertentangan dengan pandangan pribadinya. Lebih sederhananya, seorang politikus umumnya harus bisa berdiplomasi, namun pada saat seseorang berdiplomasi, ia tidak lagi menjadi dirinya sendiri, karena saat dia berdiplomasi dia telah menanggalkan idealismenya.
Sampai saat ini SBY masih tetap memperlihatkan kepribadian yang kuat dengan idealismenya, sebagai presiden beliau mengambil keputusan dalam ukuran kemampuan beliau, dan tetap menegaskan keputusan tersebut bukan karena tekanan pihak-pihak tertentu (ingat keputusan akhir kasus cecak dan buaya serta kasus-kasus lainnya termasuk kasus Century yang sedang berjalan). Karena itu tepatlah jika beliau disejajarkan dengan negarawan-negarawan besar seperti John F. Kennedy, Bung Karno, Bung Hatta serta Dwight D. Eisenhower, yang idealis dan berani mempertahankan keputusannya meski dipandang cukup bertentangan dengan tuntutan banyak pihak.
Karena itu, respon yang instan dari SBY untuk permasalahan-permasalahan yang tergolong rumit, bukanlah sesuatu yang harus. Karena yang pasti alat ukur yang digunakan SBY bagi memandang macam permasalahan sudah jelas jauh berbeda. Dalam banyak hal ketika respon itu datang, akan banyak penuntut yang merasa tidak puas, itu sebenarnya karena SBY mempunyai wawasan yang jauh lebih dalam dan luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H