Kenal dengan sosok Michael Moore? Harusnya bagi yang merasa dirinya seorang filmholic, pasti mengenal dia. Soalnya MM ini seorang sutradara, tepatnya sutradara film dokumenter (wah ada yang nyengir…pantas saya gak tau, soalx bukan film bollywood sob). Awalnya dikenal setelah merilis film dokumenter berjudul Fahrenheit 9/11 yang menguak cerita konspirasi dalam peristiwa 11 september di Amerika. Tahun 2009, MM kembali menghasilkan karya yang juga berdaya sengat tinggi dan tentu layak disimak. Judulnya Capitalism : A Love Story, masih tetap sebuah film dokumenter dengan tarikan narasi yang kuat, kritis, analitis, dan kaya akan sentilan. Semuanya tersaji dalam visualisasi-visualisasi yang tidak bersifat fiksi. Sepanjang alur ceritanya, MM nampak begitu asik “mengejek” kapitalisme. Spirit film ini memang jelas, yakni sebuah dekonstruksi terhadap kapitalisme.
Tulisan ini bukan sinopsis film, jadi uraian tentang MM beserta karyanya cukup sampai disini. Narasi diatas hanya saya butuhkan sebagai alat justifikasi untuk menguatkan postulat/hipotesa bahwa kapitalisme dibenci, tidak lagi disukai, dan akan segera tersungkur.
Kehadiran sosok MM menambah deretan “pengejek” (baca: kritikus) kapitalisme yang sebelumnya telah banyak bersuara. Diantaranya Paul Krugman (kolumnis The New York Times yang juga peraih nobel 2008) dengan istilah popularnya bubble economy, atau Kevin Philips (ahli strategi Partai Republik) yang jauh – jauh hari sudah meramalkan kebangkrutan Amerika akibat kapitalisme dan lilitan utang. Tidak ketinggalan media sekelas The New York Times, 20 Januari 2008 pernah menuliskan “ The United States Is Now On Sale At Discount Prices,” (Amerika sekarang diobral dengan harga diskon). Terhangat adalah peristiwa yang marak terjadi dikuarter terakhir tahun 2011, yakni gelombang aksi pendudukan kantor-kantor bursa saham. Dentuman speaker dan “teriakan” posternya juga ramai “mengejek” kapitalisme. Diawali di jantung kapitalisme (AS) melalui aksi yang bertajuk Occupy Wall Street dan meluas ke hampir seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Mereka menamakan dirinya kalangan mayoritas tertindas (99% people) yang sedang melakukan perlawanan kepada kaum minoritas penindas (1 % Corporatocrasy).
Kapitalisme (baca: Ekonomi AS) sejatinya tidaklah pernah tumbuh menjadi tubuh yang sehat. Gampang masuk angin, batuk-batuk, sakit kepala, sering mules, hingga wajar jalannya selalu sempoyongan. Dalam bahasa Al-Qur’an, tidak dapat berdiri kecuali sama seperti berdirinya orang gila karena kemasukan setan. Riwayatnya mirip layang-layang putus yang kehilangan kendali dan penopang. Cepat ataupun lambat akan tersungkur dan berpelukan dengan tanah. Tanda-tanda kehancuran sistem ekonomi kapitalisme kerap muncul dan telah membentuk siklus. Krisis demi krisis ekonomi terus berulang tiada henti, sejak tahun 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, dan 1998–2001. Roy Davies dan Glyn Davies (1996), dalam buku The History of Money From Ancient time oi Present Day, menguraikan bahwa sepanjang Abad 20 telah terjadi lebih 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara.. Fakta ini menunjukkan bahwa rata-rata setiap lima tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia. Bahkan krisis semakin mengkhawatirkan dengan munculnya krisis financial (Subprime Mortgage)di AS tahun 2008 lalu.
Menurut Peter Drucker (1980), Kapitalisme sangat mengandalkan transaksi financial ketimbang transaksi riil yang akhirnya melahirkan virtual economy. Praktek ribawi menjadi darah busuk yang terus dialirkan melalui urat nadinya yang rentang dalam bentuk mata uang kertas (fiat money). Dengan uang yang tanpa nilai intrinsik ini, orang dipaksa berfantasi dengan kekayaan absurd, hitungan-hitungan nominal diatas kertas, dan hanya atas jaminan undang-undang. Maka dengan semua itu wajar kalau hasilnya juga adalah ekonomi yang tidak riil. Sebuah kesejahteraan yang juga virtual, abstrak, maya, atau meminjam bahasa Yosihara Kunio dalam The Erzat Capitalism, yakni bukan “erzat” atau semu.
Kapitalisme adalah ekonomi balon?! personifikasi tentang balon, benda ini memang bisa kelihatan besar namun isinya hampa, kulitnya tipis, mudah goyah, rawan meletus meski hanya dengan goncangan/serangan ringan. Kalaupun dibiarkan dalam kondisi normal dan aman dari tekanan luar, pun akhirnya juga bakal kempes sendiri. Ekonomi kapitalisme bukan buah kelapa. Kulit buah kelapa yang kuat menjadi simbol ketangguhan, massanya berat menggambarkan kekayaan, Isi dalamnya yang menawarkan ragam kenikmatan pertanda kesejahteraan. Sesuatu yang sekali lagi tidak dimiliki kapitalisme.
Dari kutipan tokoh sekampung, ketika menyoal tentang pepesan ekonomi yang sering dilontarkan pemerintah, M. Idrus Taba (Dosen Unhas, Kolumnis di Harian Fajar,) mengatakan …” seolah-olah bermaksud membangun kesejahteraan rakyat, tetapi ketika kulit pepesan terbuka, tak lebih dari tulang dan daging busuk rente-rente ekonomi”. Sepertinya beliau juga sedang geram dengan konsep mbah Adam Smith ini. Akhirnya, anggaplah pandangan saya juga sudah berdaya pikat dan bernilai “sesuatu” (ngarep mode on), lantas ada yang bertanya apa itu kapitalisme? maka jawabku, kapitalisme adalah ekonomi perut buncit, bukan ekonomi body sixpack!
nb :
Jika ada yang tersinggung dengan pemakaian frase "perut buncit" mohon maaf, tidak ada maksud untuk menyinggung koq:)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H