Mohon tunggu...
Tamsil Hadi
Tamsil Hadi Mohon Tunggu... -

Saya berusaha untuk menjadi profil yang sederhana, terus memaknai hidup sebagai ibadah, serta menyatukan antara keyakinan, perkataan, dan perbuatan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ekspresi Negeri Yang Tak Wajar

3 April 2012   06:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:06 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Munculnya banyak bencana, tragedi, kekacauan, krisis, dan gejolak di tahun 2011 yang melanda dunia, digelari oleh Reuters sebagai Annus Horribilis. Seolah sepakat dengan itu, koran kompas edisi awal tahun 2011 juga memuat kumpulan dokumentasi gambar dengan tajuk yang sama, Annus Horribilis. Istilah Annus Horribilis sendiri berasal dari bahasa latin yang berarti horrible year atau tahun yang sangat buruk/tahun yang mengerikan.Pertama kali dipopulerkan oleh ratu Elizabeth II dari Inggris pada akhir tahun 1992, sebagai penggambaran betapa buruknya tahun itu. Pada tahun itu dua anaknya bercerai dari istri-istrinya; Pangeran Andrew bercerai dengan Sarah (Maret 1992) dan Pangeran Charles bercerai dengan Lady Di (Desember, 1992).

Istilah ini semakin populer ketika penggunaannya ditarik dalam domain yang lebih luas. Tidak hanya untuk menyebut “tragedi” dalam ruang istana/kerajaan, tapi meliputi segala hal dan menempati bermacam ruang, terutama jika skala kengeriannya sampai pada tingkat extra-ordinary. Makanya bisa disebut Annus Horribilis, ketika dalam setahun terjadi krisis ekonomi yang sangat dalam seperti yang melanda AS dan negara-negara eropa. Juga ketika bencana alam datang silih berganti, seperti tsunami di Jepang atau letusan gunung Merapi di Indonesia. termasuk ketika terjadi gejolak sosial secara massif dengan tujuan menumbangan rezim ala Arab Springs.

Kengerian jika dicerminkan, maka akan tampak ekspresi perasaan cemas, mimik wajah ketakutan, dan gerak sikap yang tak jelas . Sebagaimana keindahan yang akan mencerminkan perasaan takjub dan wajah yang menggairahkan, keheningan yang mengantarkan pada kesyahduan batin, kelucuan yang memaksa senyuman berkembang lebar yang kadang-kadang sungguh terlalu, atau mungkin antrian panjang yang membuat wajah berkerut dan lutut bergetar kuat. Menurut saya semua itu adalah cermin ekspresi yang wajar. Justru kalau kengerian berwajah tawa, keindahan berbalas muram, atau tragedi berwujud happy-happy, ini yang tidak wajar. Mungkin ada yang bilang,Tapi khan bisa saja muncul ekspresi yang berlawanan? Memang iya, tapi tetap saja itu bukan ekpresi kejujuran. Dan yang tidak jujur itu gampang ditebak. Apalagi, Tuhan pun tidak melarang kita menangis jika sedih atau malah dianjurkan dalam suasana berkontemplasi mengingat dosa. Juga setahu saya, Tuhan tidak melarang kita ketawa dengan sewajarnya.

Indonesia juga negeri yang menampilkan banyak kengerian. Bencana alam yang akrab dengan Indonesia selalu menciptakan kengerian. Membaca data BPS tentang jumlah kemiskinan dan pengangguran yang terus bertambah juga bikin ngeri. Apalagi jika melihat ulah penguasa yang tegaan, anggota dewan yang sok perhatian, atau densus 88 yang mencoba menyaingi Izrail, sungguh bikin ngeri. Belum lagi jika menengok disparitas kaya-miskin yang semakin lebar akibat kapitalisme liberal. Oh iya…Kecuali satu yang tidak ngeri di Indonesia, nonton film Horor. Bukannya bikin takut, tapi malah membuat tertawa bahkan bikin syahdu…haha

Hal yang aneh justru terjadi ketika negeri yang penuh dengan kengerian ini, dalam pandangan saya sering memunculkan ekspresi yang tidak wajar. Terlalu banyak tawa dinegeri ini. Tawa jijik anggota dewan saat mengibuli rakyat, tawa bernafsu calon pemimpin dari level daeran – pusat ketika kampanye, atau tawa rakus pemilik perusahaan besar tatkala menang tender dan mempecundangi negara. Coba tengok juga siaran TV yang seolah berlomba-lomba menyajikan acara yang mengundang tawa penonton. Bahkan sebuah acara opera di negeri ini tayang hampir setiap hari (padahal orang dengar khutbah jum’atan cuma sekali sepekan) . Tidak terkecuali TV yang selama ini memilih segmen “serius” belakangan mulai ikut-ikutan meski dengan image komedi elit (stand up comedy). Mungkin dimaksudkan, biar rakyat ini jangan larut dalam kesedihan. Tapi justru saya khawatir, banyak tertawa ini melenakan dari upaya untuk berubah kengerian ini. Coba dibayangkan ketika persoalan besar negeri ini hanya berakhir dipanggung parodi tawa? Jiwa kritis akhirnya tertindis oleh selera humor? Banyak tertawa ditengah kengerian, bukankah itu bisa dikatakan kengerian juga?

Sebuah renungan buat kita dan bangsa ini

Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah engkau memperbanyak ketawa, karena sesungguhnya banyak tertawa akan mematikan hati”

Negeri ini terlalu ngeri dan tak wajar ekspresi didominasi oleh tawa. Tertawalah dengan jujur, selip sedikit tawa untuk menghibur diri. Tapi tolong jangan terlalu! Atau jangan-jangan tawa kita adalah wujud keputus-asaan...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun