“Satu-satunya bahasa yang dipahami oleh semua bangsa adalah bahasa cinta”
(St. Yosef Freinademetz)
Tentang definisi cinta hingga kini belum ada kata sepakat. Arti sesungguhnya dari kata cinta dan mencintai masih merupakan pencaharian abadi. Pencinta bilang dia mencintai kekasihnya. Guru bilang dia mencintai anak-anak didiknya. Negara mengatakan bahwa dia mencintai rakyatnya.
Cinta pada hakikatnya yang mendalam adalah pembebasan dan pemerdekaan diri. Dan pembebasan selalu membahagiakan. Rahasia cinta bukan ada pada ulasan-ulasan para penulis buku, atau nasihat dukun atau psikiater, melainkan dalam bathin kita sendiri.
Cinta adalah perkara membangun isi bathin. Dari common-sense masyarakat, cinta dapat dipahami sebagai sebuah perhatian dan kasih sayang terhadap orang lain. Cinta adalah pancaran perdamaian, persahabatan, kepedulian terhadap orang lain.
Secara normatif cinta adalah konklusi segala legitimasi yang terkumpul dari aneka fakta yang terbukti membahagiakan, yang hanya bisa ditemukan dalam laku kebajikan. Maka, cinta adalah pengetahuan yang mampu memahami keutamaan sebagai sumber kebahagiaan.
Kontra cinta adalah kekerasan. Kekerasan bukan kemasan baru abad ini. Kekerasan sudah dikenal sejak permulaan penciptaan. Sebelum agama-agama besar mendapatkan wahyu demi eksistensinya, kekerasan demi, dari dan oleh agama sudah ada. Padahal Allah sama sekali tidak menghendaki kekerasan.
Hambatan primordial dalam mencintai sesama adalah kepentingan diri. Kepentingan diri menyebabkan kita melihat orang lain sebagai musuh yang patut dieliminasi. Orang lain dianggap sebagai sosok penghambat derap laju usaha pemenuhan kepentingan diri.
Cinta tidak bisa tumbuh subur dalam suasana di mana konsep aku adalah aku dan kamu adalah kamu masih kuat dianut. Kekuatan cinta memang melampaui sekat-sekat primordial manusia, tapi ia tidak berdaya dalam suasana dimana kepentingan diri masih dinorsatukan dalam seluruh aspek hidup.
Perluasan kepentingan diri adalah kepentingan kelompok. Di sini cinta menunjukkan wajah paradoksal. Makin orang memuja kelompok, kebencian terhadap orang di luar kelompok semakin besar. Atas nama cinta terhadap kelompok, orang bisa saja bersedia menjalankan misi bom bunuh diri. Meski tindakan heroik itu ujung-ujungnya menghabisi nyawa orang yang dilainkan kelompoknya.
Bentuk kesetiaan tak manusiawi terhadap kelompok nampak dalam sikap dan prinsip bahwa yang berbeda: agama, golongan, etnis, beda kepentingan bukanlah tetangga. Lantas dianggap pantas dieliminasi, dicederai, dibunuh karakternya.