Mohon tunggu...
Bigman Sirait
Bigman Sirait Mohon Tunggu... -

Pengamat Sosial, Etika, & Kepemimpinan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

#SUP -- Bandung Intoleran

8 Desember 2016   14:51 Diperbarui: 8 Desember 2016   15:25 1259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  KATA ini mendadak menjadi viral di sosmed, top hashtag di twitter. Ah koq bisa? Bandung yang heroik yang dikenal dengan semangat perjuangan “Bandung Lautan Api” dan terus mengiang dalam lagu “Halo-Halo Bandung”, belakangan memang menyumbang berita tak enak. Mulai dari lautan villa yang tak terbendung dan cenderung mengancam ekosistem daerah sekitarnya. Pohon hijau yang berubah menjadi warna-warni “pohon beton”.  Lautan sampah yang merusak wajah dan aroma Bandung yang menyandang predikat kota kembang.

Dan, Oktober lalu Bandung jadi lautan air yang tak hanya menguasai jalanan tapi juga menggusur mobil, dan berakhir menjadi lautan lumpur. Belum selesai penanganan soal “lautan” ini, eh datang lagi lautan kemarahan.  Jika orang yang salah dimarahi, itu biasa. Atau mungkin tenggelam di lautan emosi. Tapi jika alasannya agama, ah, tak mudah menalarnya. Agama itu kan seharusnya teduh, damai, dan melindungi. Memang repot jika sekelompok orang memakai nama agama, yang bukan hanya dia penganutnya, tapi mengklaim seakan dia pemiliknya.

Ada apa soal agama di Bandung? Penghentian ibadah Natal oleh kelompok yang menyebut dirinya Pembela Ahlus Sunnah (PAS). Mereka mengaku Islam, tapi yang jelas bukan dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah, atau yang lainnya, yang justru merupakan mayoritas Islam di Indonesia.  NU, Muhammadiyah, beradab dan terdidik, menghargai perbedaan bahkan biasa menjadi kawan berdialog. Ini memang beda, semoga umat Kristen tak terjebak dalam melabelisasi pelaku. Ini bukan agama, tapi sekelompok orang yang mengatasnamakan agama. Di sisi lain, dalam perspektif hukum, ada hal yang patut dipertanyakan kepada penegak hukum dan pemerintah daerah. Bagaimana mungkin massa bisa menghentikan sebuah ibadah yang memiliki izin keramaian.

Dan, alasan yang dia pakai tidak sesuai dengan SKB 2  Menteri yang sejatinya mengatur tata tertib pendirian rumah ibadah. SKB 2 Menteri sudah banyak menimbulkan kerancuan dan bukan mencipta kerukunan. Alasan ibadah harus di Gereja sesuai SKB 2 Menteri sangat tidak masuk akal. Setiap ibadah Natal di kementerian, diadakan di aula, jika ada, atau menyewa di luar. Belum lagi perusahaan, panti asuhan, bahkan gereja juga banyak yang tak memiliki ruang luas untuk menampung jemaatnya.

Mereka beribadah di tempat yang disewakan. Apakah ini harus dibubarkan juga. Semua agama yang tak memiliki ruang cukup untuk ibadah, melakukan hal yang sama. Apakah semua harus dibubarkan juga. Sederet dengan rumah saya ada Masjid yang jika Sholat Jumat menutup jalan karena umat tak tertampung di dalam.  Saya harus memutar, tak mengapa, mereka kawan-kawan saya yang lagi beribadah.  Hari Minggu giliran saya menggangu lalu lintas kawan, dan mereka lewat sambil menyapa. Ini namanya toleransi, karena kita sesama manusia dan beragama.  

Bagaimana menalar penegakan hukum dalam pelarangan beribadah? Yang pasti, ini tidak disetujui oleh agama apapun yang ada di Indonesia, khususnya yang sadar ke Indonesiaannya, yang satu Bangsa, Tanah air, dan Bahasanya. Semoga Bandung tak terjebak menjadi lautan kebencian, melainkan tetap dalam semangat lautan api, pantang menyerah, yang mengenal penjajah dan musuh dengan baik, dan berjuang menghentikannya. Bukan menghentikan kawan sendiri yang sebangsa setanah air.

Semoga juga pemerintah dan aparat penegak hukum mampu menjadi model pemimpin yang baik bagi warganya. Tak berdalih, atau menghimbau, apalagi setelah peristiwa, ini kebiasaan jelek dalam kepemimpinan. Pemimpin yang baik bisa membaca peta daerahnya dan mengantisipasi segala kemungkinan, dan untuk itulah hukum ada. Pelanggaran sudah tentu harus menghadapi hukum, kecuali memang hukum sudah tiada. Akankah? Menarik melihat lanjutan penanganan kasus ini oleh pemerintah daerah dan aparat penegak hukum. Semoga pemerintah Bandung bisa mengembalikan semangat Bandung lautan api yang damai. 

Natal itu, damai dibumi bagi orang yang berkenan kepada NYA. Siapa yang diperkenan NYA, hanya Tuhan yang mengetahuinya, kita hanya bisa mengenalinya dari kualitas kehidupannya. Penolakan kepada pembawa berita Injil sudah terjadi sejak dahulu kala, tidak ada yang aneh disana, hanya saja yang terasa aneh adalah ketika masih saja ada yang  bersemangat dahulu kala itu, di era kini.

Buat hambanya Pdt. Stephen Tong, selamat melayani, karena saya percaya hanya Tuhan yang bisa menghentikan pelayanan kita di bumi ini. Tempat hanya berpindah dalam pergerakan waktu. Diterima dan ditolak hanyalah bumbu penyedap rasa dalam pelayanan, namun kesetiaan melayani Tuhan itulah yang pertama dan terutama.

Salam Natal, salam damai bagi semuanya, semangat mewujudkan perintah Tuhan Yesus dengan elegan; Kasihilan sesamamu manusia (lintas suku, ras, agama), seperti dirimu sendiri. Indahnya Natal.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun