Mohon tunggu...
Big Forever
Big Forever Mohon Tunggu... -

Bekerja di industri jasa keuangan, hobi membaca buku otobiografi orang sukses dan terkenal serta mengamati perkembangan ilmu manajemen. Hidup mengalir seperti air.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Maafkan Daku Bangsa dan Negaraku

14 Juni 2016   01:51 Diperbarui: 14 Juni 2016   02:05 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menjelang momen-momen tertentu seperti penyakit kronis yang tidak pernah sembuh, harga sembako akan selalu naik seiring dengan akan naiknya rasa bahagia warga yang akan merayakan momen tersebut. Pada kesempatan harga sembako naik, teringat akan masa kecil nun jauh di lereng Gunung Merapi sana. Dibesarkan dalam keluarga petani Bapak Ibu sebagai anak tunggal maka mungkin dalam rangka mewariskan nilai-nilai sebagai seorang petani maka dalam berbagai kesempatan selalu diajak oleh Ibu untuk mengirim makan siang untuk Bapak yang tengah mengolah sawahnya. Menu makan siangnya sangat sederhana yaitu nasi, urap sayuran, tempe goreng dan peyek teri. Sungguh bahagia tampaknya Bapak menikmati makan siang yang disiapkan oleh Ibu dan sambil Bapak selesai mengolah sawahnya maka biasanya tertidurlah saya di saung yang ada ditemani dengan semilir angin siang....

Rutinitas seperti itu berulang terus dan pada saat panen tiba maka setelah disisihkan sebagian untuk dikonsumsi sendiri maka sebagian lainnya dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sampai dengan masa panen pada musim berikutnya. Hasil penjualan sebagian hasil panen itu dapat memenuhi kebutuhan hidup dan bahkan bisa sebagian ditabung untuk membiayai sekolah nanti.  Namun dari diskusi Bapak Ibu kadang-kadang terdengar bahwa sisa yang dapat ditabung itu semakin lama semakin berkurang dan bahkan suatu ketika tidak ada lagi sisa hasil panen yang dapat ditabung.

Kesempatan baik memungkinkan untuk melanjutkan pendidikan yang tidak ke jurusan pertanian tapi ke jurusan ekonomi. Setelah belajar sejarah ekonomi yang terjadi di belahan dunia lainnya seperti gerakan koperasi di negara Eropa dan perekonomian di Amerika serta Asia maka mengapa saat itu hasil panen orang tua lama-lama tidak bisa untuk di tabung lagi karena adanya nilai tukar petani (term of trade) yang turun dimana kalau dulu hasil panen kalau dijual semua maka dapat dibelikan 1000 gram emas maka lama-lama hasil panen hanya dapat 600 gram emas. Apalagi kalau ingat di Jepang ada istilah dumping yaitu harga di dalam negeri Jepang lebih mahal dari harga kalau dijual ke luar negeri. Dan Pemerintah Jepang kabarnya sudah menjamin harga produk pertanian yang dihasilkan oleh petani akan dibeli oleh Pemerintah Jepang dengan harga yang cukup menarik sehingga akan memotivasi petani Jepang untuk terus setia dengan profesi sebagai petani.

Dengan bergulirnya waktu dan dengan tiadanya Bapak yang berarti tidak ada lagi yang mengerjakan sawahnya maka setelah memperhatikan kondisi politik ekonomi Pemerintah Indonesia dimana tidak ada keberpihakan kepada profesi petani maka dengan persetujuan Ibu maka sawah warisan di jual dan dibukalah warung kelontong untuk menopang hidup sehari-hari. Mengapa saat itu pilihannya warung kelontong dan bukan warung nasi karena dengan warung kelontong tidak ribet dengan kewajiban harus menghormati orang yang berpuasa pada saat bulan ramadhan walaupun saat itu banyak warga juga puasa senen kamis. Pilihan buka warung kelontong ternyata pilihan yang tepat karena bebas dari rasia Satpol PP pada bulan puasa yang penuh berkah. Kemudian setelah selesai kuliah maka merantaulah ke Jakarta dan bekerja bukan sebagai petani. Sungguh enak kerja bukan sebagai petani kalau merasa term of trade yang dicerminkan dengan UMR turun maka bisa berdemo tanpa memperhatikan apakah pengusaha itu bingung memikirkan apakah akan meneruskan usahanya ataukah menjual usahanya dan menyimpan uangnya di Bank yang sudah pasti akan ada hasilnya. Mungkin bingungnya sama seperti Almarhum Bapak tempo dulu.

Dengan momen menjelang bulan hari besar yang memicu kenaikkan harga sembako maka teringat akan masa lalu dan saya berkewajiban untuk mohon ma'af kepada Bangsa dan Negara karena tidak meneruskan profesi sebagai petani yang memproduksi beras yang merupakan kebutuhan dasar untuk memperkuat ketahanan pangan Indonesia. Kalau langkah saya ini ternyata juga diikuti oleh rekan-rekan petani lainnya dalam bidang bawang, cabe, buah-buahan, garam, peternak, dll maka akan menyulitkan Pemerintah yang berkuasa untuk memuaskan warganya akan harga sembako yang terjangkau ......sekali lagi ma'afkan daku...bangsa dan negaraku !

Salam perubahan untuk kehidupan yang lebih baik lagi...... 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun