Pagi ini saya tergelitik dengan salah satu tema utama di majalah International Maritime & Port Security yang didapatkan di Indo Defense 2014, majalah itu mengangkat tema “Small Boats Big Challenges: Inshore Patrol Craft Analysed”.
Di salah satu tulisan majalah tersebut yang berjudul “Pushing The Boat Out” dijelaskan bagaimana banyak negara maritime mulai mengembangkan sebuah system untuk melindungi daerah pantai dan melawan ancaman asimetrik di wilayah perairan seperti bajak laut, terorisme, insurgency, pelanggaran hukum dengan menggunakan senjata, penyelundupan narkotika, perdagangan manusia, termasuk di dalamnya illegal fishing, penyelundupan dan pencemaran.
Di tulisan itu dijelaskan, akibat dari meningkatnya ancaman di wilayah perairan, negara-negara maritime mulai memesan dan memaksimalkan peran kapal-kapal kecil berukuran 10-40 meter yang dimiliki penjaga pantai (Coast Guard) atau Polisi untuk menjaga wilayah perairannya khususnya wilayah littoral.
Walau menggunakan kapal kecil namun misi yang dihadapi ternyata bervariasi dan cukup sulit, namun tetap dibatasi hanya dikisaran littoral (garis pantai) bukan kawasan laut lepas untuk menghindari masalah terkait gelombang laut dan badai, sehingga kapal-kapal kecil tersebut focus pada misi-misi untuk keamanan dalam negeri bukan pertahanan.
Lalu mengapa saya menganggap tulisan ini menarik, pasalnya ini bersinggungan dengan tugas dan fungsi Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) yang akan menjadi Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Bakamla yang diproyeksikan akan menjadi Indonesia Coast Guard hingga saat ini ternyata hanya dilengkapi dengan armada kapal dalam jumlah kecil. Tidak hanya jumlahnya yang kecil, ukuran kapalnya pun memang kecil. Padahal wilayah perairan Indonesia yang menjadi wilayah kerja sangat luas dan bukan Cuma perairan pantai tetapi laut lepas. Bayangkan, hingga saat ini ternyata Bakorkamla ternyata hanya memiliki kapal berukuran 12 meter beberapa unit dan 3 unit kapal berukuran 48 meter.
Dalam kesempatan itu, saya sempat berbincang dengan beberapa personel Bakamla yang menjaga stand di Indo Defense 2014. Di perbincangan tersebut betapa saya terkejut bahwa kapal-kapal Bakamla harus beroperasi di laut lepas padahal sebenarnya kapal-kapal tersebut tidak layak berlayar di laut lepas karena ukurannya tidak memenuhi syarat.
Sebagai contoh, kapal berukuran 12 meter milik Bakamla harus menjaga perairan di wilayah Laut Arafura, padahal itu sudah termasuk laut lepas, sedangkan jika bicara tulisan di majalah International Maritime & Port Security, kapal-kapal kecil hanya beroperasi di wilayah perairan pantai.
Di tulisan lainnya di majalah International Maritime & Port Security yang berjudul “Watching the Waves” dijelaskan bagaimana tantangan Coast Guard dalam menjaga Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Disitu penulis memperlihatkan bagaimana pentingnya “mata di udara”/air surveillance bagi Coast Guard.
Kembali lagi, jika melirik Bakamla, semuanya masih jauh sekali dari kondisi ideal, bahkan saya berpikir untuk mendapatkan kapal berukuran besar yang dapat berlayar di laut lepas dalam jumlah banyak mungkin sulit, karena pasti akan berbenturan dengan kepentingan TNI AL, bagaimana dengan alat untuk memantau di udara seperti pesawat Maritim Patrol Aircraft (MPA) seperti yang dimiliki TNI AL.
Ditambah lagi saat ini status posisi Bakamla seperti masih kebingungan, ke kementerian apa mereka harus menginduk, karena sebelumnya Bakorkamla menginduk ke Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam). Sedangkan saat ini di era Jokowi ada Kementerian Kemaritiman yang lebih focus di bidang maritime.
Dengan kondisi seperti ini, pertanyaan saya Cuma satu, apakah Bakamla bisa beroperasi layaknya Coast Guard yang diharapkan? Sepertinya Cuma waktu yang bisa menjawabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H