Mohon tunggu...
Budi Prasetyo
Budi Prasetyo Mohon Tunggu... -

Hanya seorang lelaki sederhana saja

Selanjutnya

Tutup

Catatan

ANAK KU BUKAN AUTIS

10 Februari 2011   09:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:44 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Anak bapak hanya mengalami gangguan sensor motorik halus, yang menyebabkan gangguan pada konsentrasi belajar dan wicara”. Seketika saya dan istri seperti mendapat kabar dari surga. Bahagianya kami, ternyata anak saya tidak autis seperti yang sering saya dan istri saya dengar dari orang-orang yang menilai perilaku anak saya. Menurut Prof. Edith yang menangani anak saya, perlu dilakukan terapi yang cukup lama agar semua gangguan itu dapat diminimalisir. Tetapi tetap saja saya dan istri sering mendapat omongan baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara langsung, bahwa anak saya adalah anak autis.

Sakit memang, mungkin bagi saya masih bisa menyembunyikan rasa sakit hati saya, namun istri saya? Dia selalu menangis tiap kali mendengar ada orang yang menyebut anak saya adalah anak autis. Bahkan yang lebih menyakitkan lagi ucapan itu muncul dari orang dekat di keluarga saya sendiri.

Saya berusaha membangun rasa percaya diri istri saya dengan mencoba bersikap ikhlas dan sabar menghadapi omongan orang, pandangan orang terhadap anak saya dan apapun sikap orang tua yang berusaha menjauhkan anak-anak mereka dari anak saya. Kalau saya menuruti emosi saya, mungkin orang-orang itu akan saya maki-maki. Tapi saya masih inget kalau saya masih punya Tuhan, yang menyebabkan semua ini ada dan sudah sepatuhnya kepadaNYa-lah saya serahkan.

Sekarang anak saya sudah sekolah di TK reguler yang berbasiskan Islam, selain menjalani terapi. Namun masalah lain kembali muncul ketika saya mencari sekolah untuk tingkat SD. Ternyata tidaklah mudah mendapatkan sekolah bagi anak seperti anak saya. Tadinya saya sudah optimis kalau sekolah yang masih satu yayasan dengan TK anak saya akan menerima anak saya. Namun kenyataan pahit yang saya terima, ternyata dengan tegas sekolah itu menolak menerima anak seperti anak saya itu.

Saya dan istri kembali mencari-cari informasi tentang sekolah yang menerima ABK, hasilanya adalah saya harus mencari sekolah yang menyelenggarakan pendidikan dengan metode inklusi. Saya mendapat banyak informasi, baik sekolah swasta maupun yang negeri.

Dalam hati saya berucap, “Ya Allah, kenapa begitu berat beban orang tua yang memiliki anak seperti anak saya ini?” tidak hanya cobaan yang bersifat perilaku orang dalam menilai anak saya maupun cobaan dalam bentuk materi. Tidak pernah terbayang sedikitpun dalam benak saya kalau biaya pendidikan seorang anak berkebutuhan khusus untuk biaya masuk ke sekolah inklusi kisaran 7 s.d 20 juta, dengan uang bulanannya kisaran 350 – 1 jt, belum lagi biaya-biaya lainnya yang bersifat insidental maupun optional. Mungkin bagi orang tua yang memiliki penghasilan lebih hal itu bukanlah menjadi masalah besar.

Dari semua permasalahan yang dihadapi oleh orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus yang paling berat dan sangat menyakitkan adalah penilaian orang kepada anak kita. Mereka sering menyamaratakan kalau anak berkebutuhan khusus adalah AUTIS. Bahkan saya sering mendengar kata-kata autis sering dijadikan bahan olok-olokan, bahan ejekan bahkan hanya sekedar untuk lucu-lucuan.

Saya yang alhamdulillah tidak memiliki anak autis, mendengar itu semua hati saya sakit, miris lalu, bagaimana dengan perasaan orang tua yang benar-benar memiliki anak yang menderita autis?

Yang menjadi pikiran saya, apakah mereka mengerti bagaimana perjuangan orang tua yang memiliki anak autis? Apakah mereka tahu seperti apa hancurnya perasaan mereka? Apakah mereka paham, sekuat apa hati dan perasaan orang tua yang memiliki anak autis dalam menghadapi “penghakiman” orang bahwa anak autis adalah anak kutukan. Naudzubillah....

Saya yakin, jika mereka yang suka mengejek, menggunakan kata-kata autis hanya untuk olok-olokan dan lucu-lucuan belum tentu sekuat dan setegar dari para orang tua yang memiliki anak autis. Dan jika mereka suatu ketika mengalami hal yang sama (mudah-mudahan tidak sampai terjadi) saya juga yakin mereka pasti akan sakit hatinya, perasaaannya, bahkan mungkin akan terpuruk.

Autis, ADHD, hyper active bukanlah penyakit kutukan, mereka hanya butuh perhatian lebih. Bagi orang awam mereka mungkin anak-anak yang aneh, tapi sebenarnya mereka hanya merasa memiliki alam kehidupan mereka sendiri. Sudah seharusnya mereka itu kita ajak masuk ke dalam dunia kita, agar mereka juga mengenalinya. Jangan anggap mereka aneh, terasing bahkan yang paling ekstime jangan anggap mereka gila. Bisa jadi mereka lebih jenius dari kita, sehingga alam pikiran kita tidak bisa memahami alam pikiran mereka. Mereka juga butuh diakui eksistensinya.

STOP SEBUT MEREKA AUTIS HANYA SEKEDAR UNTUK MENGHAKIMI APALAGI UNTUK MENGEJEK DAN UNTUK LUCU-LUCUAN.

Mereka ada diantara kita, bisa jadi salah satu anak keturunan kita yang akan mengalaminya.

Depok, 1 Februari 2011

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun