Artikel Ilmiah Populer
Gastritis atau lebih dikenal dengan maag merupakan peradangan pada mukosa (jaringan lunak pelindung) lambung karena ritasi dan infeksi. Lambung manusia bekerja dengan cara meremas makanan yang masuk secara terus-menerus dan sewaktu-waktu dapat mengalami luka. Dewasa ini, gastritis dianggap sebagai hal yang biasa oleh masyarakat. Padahal jika dibiarkan begitu saja, gastritis dapat menyebabkan penyakit kronis seperti kanker lambung.
Pada tahun 2017, WHO menerbitkan data jumlah kasus gastritis di Indonesia. Sebanyak 274,396 penduduk Indonesia mengalami gastritis dari 238,452,952 jiwa penduduk. Gastritis dimasukkan ke dalam daftar 10 penyakit tidak menular yang banyak dialami oleh masyarakat Indonesia. Termasuk di antaranya yang banyak mengalami gastritis adalah mahasiswa perantauan. Mahasiswa perantauan harus menyesuaikan diri dengan pola hidup yang baru setelah jauh dari keluarga.
Berdasarkan sebuah studi yang dilakukan di Universitas Samudra, Provinsi Aceh. Dilakukan survei kepada 40 mahasiswa dan diperoleh data penyebab gastritis. Sekitar 62% mahasiswa jarang makan 3 kali sehari, 60% nya jarang sarapan, 55%nya karena pola tidur yang tidak teratur, 52,5% karena tugas kuliah, 40%nya karena padatnya kegiatan di kampus, dan 62,5% karena jarang melakukan aktivitas olahraga.
Secara sosiologis, gastritis disebabkan perubahan gaya hidup terhadap lingkungan baru. Adanya faktor-faktor sosial seperti tekanan lingkungan, budaya, serta kurangnya dukungan sosial akhirnya berdampak pada gastritis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa perantauan di Universitas Samudra hanya makan 2 kali sehari. Pola makan mahasiswa berubah setelah menjadi mahasiswa, karena menyesuaikan jadwal kuliah. Pola perilaku mahasiswa yang jarang makan dipengaruhi oleh keterbatasan waktu, biaya, dan akses terhadap makanan tidak sehat. Adanya tuntutan akademik dan organisasi juga dikatakan dapat meningkatkan stress pada mahasiswa. Stress berkepanjangan dapat menyebabkan gastritis. Kemudian diperparah dengan kurangnya dukungan keluarga secara langsung di perantauan.
Kehadiran keluarga secara fisik dapat memberikan dukungan emosional bagi mahasiswa. Keluarga sebagai agen sosialisasi pertama berperan memberikan afeksi atau kasih sayang. Akan tetapi bagi mahasiswa di perantauan, fungsi afeksi tidak dapat dirasakan Secara langsung. Sehingga berpengaruh pada kebiasaan-kebiasaan mahasiswa, seperti pola Makan yang tidak teratur, tidur larut malam karena tidak ada yang mengawasi, dan konsumsi makanan-makanan yang tidak sehat seperti junk food.
Melalui penelitian ini, didapatkan informasi bahwa gastritis banyak dialami oleh mahasiswa perantauan. Kebiasaan hidup mereka berubah setelah merantau. Mahasiswa diharuskan bisa hidup mandiri karena dianggap telah dewasa oleh masyarakat. Beban akademik dan non-akademik dapat menyebabkan stress ringan hingga berat tergantung dari kemampuan problem solving dan dukungan sosial yang dimiliki mahasiswa. Mahasiswa yang tidak mampu menghadapi masalah akan sangat rentan stress dan memicu gastritis. Kurangnya dukungan sosial dari teman sebaya juga dapat memicu stress karena beban emosi yang terus dipendam dan pada akhirnya bisa menyebabkan gastritis.
Dengan begitu, mahasiswa seharusnya lebih peduli pada kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan sehari-hari, agar tidak menimbulkan gastritis. Mahasiswa yang memiliki gastritis sangat dianjurkan untuk memperbaiki pola makan dan tidur untuk mencegah gastritis.
Baca: https://jurnal.usk.ac.id/JBE/article/download/21841/14266