Mohon tunggu...
Bidan Care / Romana Tari
Bidan Care / Romana Tari Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bidan Romana Tari [bidancare] Sahabat bagi perempuan dan keluarga, saling memperkaya informasi kaum perempuan dibidang kesehatan dan pengalaman sehari - hari dalam hidup,\r\n\r\nMari hidup sehat dan kreatif dalam hidup bersama bidancare

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[MIRROR] Titisan Arwah Penari Gandrung Banyuwangi

16 Desember 2011   02:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:12 929
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_156820" align="alignnone" width="300" caption="sumber gambar: gandrung.online.blogspot.com"][/caption] Hawa sejuk  di perkebunan Glenmore  Banyuwangi  membuatku betah. Setelah sarapan  nasi urap, aku berkemas lalu menjinjing tas ransel. Ni Luh Padmi menjemputku berkunjung ke klinik bersalinnya di desa Olihsari. Minggu yang indah bagi seorang bidan kota sepertiku. " Sekar,ada banyak hal yang  tidak akan kamu  percaya bila kuceritakan  padamu. Pengalamanku selama menjadi bidan desa di Olihsari kadang mendobrak  kokohnya tembok teori dan keilmuan kita" kata Ni Luh. " Maksudmu,masih ada suasana mistik di sini?" " Entahlah, aku kehabisan kata untuk bercerita. Ingat Ayu yang kuceritakan dulu? Ia masih sering kerasukan arwah  " " Ayu bayi titisan Nyi Semi  penari Gandrung itu maksudmu? Hampir sebelas tahun lalu, aku  tetap mengingatnya" Menjelang  tengah hari kami tiba di kecamatan Glagah menuju desa Olihsari. Patung penari gandrung  acapkali terlihat di sepanjang perjalanan. Pengaruh kerajaan Blambangan terasa kental . Bahasa Osing  yang kudengar selama perjalanan sangat menarik bagiku. Malam ini angin dingin berhembus  kencang meniup kain gorden putih di jendela klinik bersalin milik Ni luh Padmi. " Bu Bidan, tolong  Ayu kumat lagi, badannya kejang dari tadi sore, hanya sebentar saja siuman " kata mak Ida. Ia dan suaminya membobong  Ayu laksmi. Anak itu tampak pucat pasi. " Ayu harus menginap di klinikku semalam mak Ida, saya kuatir Ayu akan sesak nafas " Mak Ida dan suaminya mengangguk. Aku membantu Ni luh merawat Ayu. Purnama penuh  malam ini menghiasi langit  desa Olihsari. Rasa letih yang menderaku selama perjalanan kemarin  dari Surabaya ke Banyuwangi tiba - tiba lenyap. Sayup - sayup kudengar  suara gamelan gong, saron, kluncing dan kendang bertabuhan. Seiring makin terangnya cahaya bulan, terdengar pula suara panjak penyorak penari menyela diantara alunan gamelan. Merinding bulu kudukku. Sesaat kemudian terdengar suara halus memanggilku menuju kamar tempat Ayu dirawat. Mak Ida dan suaminya telah lelap tidur disebuah bale kayu di depan kamar Ayu. Ya Tuhan, aku hampir tak percaya dengan penglihatanku. Perlahan- lahan sesosok mahkluk berbusana penari gandrung lengkap dengan omproknya keluar dari tubuh Ayu Laksmi. Rambutnya yang panjang berhias bunga aneka warna yang menebarkan aroma mistik. Aku hanya bisa tertegun melihat pemandangan ini. Roh itu benar - benar berwujud fisik  seorang perempuan di hadapanku. Ya dialah Nyi Semi, arwah sang penari Gandrung yang selalu diceritakan Ni Luh kepadaku. Nyi Semi mendekat ke arahku, tangannya terus menggerakkan kipas sambil meliukkan tubuh dan kepalanya seirama dengan alunan kendang. Rasa penasaran dan takut berkecamuk dalam diriku. Aroma pandan  dan kenanga wangi berbaur asap dupa memenuhi ruangan. Aku seolah terhipnotis mengikuti Nyi Semi untuk bergerak dan menari. Sementara dalam batas kesadaran yang lain aku melihat Ayu Laksmi pulas tertidur. Semakin cepat gerakan menari Nyi Semi. Aku diayunkan dengan selendangnya. Tubuhku terasa ringan seperti kapas. Melayang. Di balik kibasan selendangnya, kulihat  bibir Nyi Semi tersenyum. "Nyi Semi, bolehkah saya bertanya" aku mencoba berkomunikasi dalam bahasa batin. " Anak boleh bertanya" jawabnya parau. Matanya  berubah merah, ia menatapku tajam. " Mengapa Nyi memakai raga Ayu untuk kembali" tanyaku lagi. "Aku menginginkan Ayu menjadi seblang, ia akan sembuh dan berumur panjang sepertiku" sahut Nyi Semi. " Mengapa harus Ayu Nyi, kami hidup dalam alam yang berbeda dengan Nyi Semi " "Waktuku tidak banyak Anak, kamu ijinkan atau aku akan membawa Ayu sekarang juga  sebelum masa akil baliqnya tiba" Tiba - tiba ia menyanyikan tembang seblang lokento, lagu ratapan kesedihan.  Dari berbagai arah berlawanan  lima sosok  cantik penari seblang datang. Mereka mengelilingiku. Aku takut ini halusinasi, aku mencubit tanganku, terasa sakit. Ini nyata! Aku tidak berhalusinasi. Mereka menari  meliukkan tubuh dan menyanyi tembang seblang lokento dengan raut wajah berduka. Entah mengapa hatiku seperti ikut tersayat dan pilu mendengarnya. " Hentikan Nyi Semi !, Apa maksudmu dengan semua ini" teriakku parau. Segenap kesadaranku bangkit. " Anak rupanya hanya kamu yang mampu melihat kehadiranku. Dengar, aku akan pergi dari tubuh Ayu dengan satu syarat" Suaranya melengking tinggi. "Katakan apa maumu Nyi Semi, asalkan kamu lepaskan Ayu dari pengaruh kekuatanmu" jawabku. " Seperti ibuku mak Midhah mengucapkan  nazarnya maka kamu harus mengucapkan untuk Ayu Laksmi" jawab Nyi Semi. "Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing" lanjut Nyi Semi lagi sambil terus mengipasi tubuh Ayu. "Mengapa Nyi menginginkan Ayu menjadi Seblang?" tanyaku gusar. " Karena warisan budaya leluhurku sudah tergeser dengan musik dan tradisi asing,  trah para seblang semakin tersingkir dan terlupakan. Jangan salahkan aku jika harus  kembali ke alam kalian" suara nyi Semi menggelegar. Aku mundur beberapa langkah. Tubuhku terasa panas . Peluh bercucuran. Nyi Semi terus menerus mengipasi tubuh Ayu. Kulihat para penari seblang itu mengitari Ayu. Dari dalam  kabut  asap dupa kusaksikan Roh Ayu keluar dari tubuhnya. " Tidaaaaaaaak!!!!, Jangan bawa Ayu, dia milik  kami Nyi Semi!", Jangan sakiti dia!" teriakku marah. Nyi semi tidak peduli, ia terus membubung bersama roh Ayu diringi kelima  penari seblang itu. Rohku  kurasakan melesat terbang menyambar Ayu. Tubuh kasarku terguncang dan  terhempas ke lantai terkena sabetan selendang merah Nyi Semi. Tulang punggungku seperti remuk rasanya. Akhirnya ku berhasil merebut Ayu dari mereka. Suhu tubuhku menjadi sangat panas. Hidungku mengeluarkan darah segar. Aku berteriak mengusir Nyi Semi. Ni luh menepuk - nepuk pipiku. " Sekar, kamu bermimpi?" tanya Ni luh. Tangannya mengusap darah di hidungku. Mimpikah aku? Sungguh berani bersumpah aku tidak bermimpi!!. Roh Nyi Semi memang datang tadi. Kulihat Ayu masih terbaring lemah, belum siuman. Haruskah kukatakan pada orangtua Ayu tentang permintaan Nyi Semi?  Kurasa tak hanya pada orangtua Ayu, tetapi pada kalian semua. SEKIAN Kupersembahkan fiksiku ini untuk menghargai budaya dan tradisi  daerah Indonesia, khususnya  seni Gandrung Banyuwangi. Salam Fiksiana Bidan Care/Romana Tari, NO 106 catatan:kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing" ( Jika kamu bisa sehat akan kujadikan penari seblang, jika tidak ya tidak) Bila ada kesamaan nama dan tempat itu adalah kebetulan semata. ASLI fiksi. terinspirasi dari :http://id.wikipedia.org/wiki/Gandrung_Banyuwangi#Asal_istilah sumber gambar: gandrung.online.blogspot.com

NB: Untuk melihat postingan peserta lainnya, silakan lihat disini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun