[caption id="attachment_156820" align="alignnone" width="300" caption="sumber gambar: gandrung.online.blogspot.com"][/caption] Hawa sejuk di perkebunan Glenmore Banyuwangi membuatku betah. Setelah sarapan nasi urap, aku berkemas lalu menjinjing tas ransel. Ni Luh Padmi menjemputku berkunjung ke klinik bersalinnya di desa Olihsari. Minggu yang indah bagi seorang bidan kota sepertiku. " Sekar,ada banyak hal yang tidak akan kamu percaya bila kuceritakan padamu. Pengalamanku selama menjadi bidan desa di Olihsari kadang mendobrak kokohnya tembok teori dan keilmuan kita" kata Ni Luh. " Maksudmu,masih ada suasana mistik di sini?" " Entahlah, aku kehabisan kata untuk bercerita. Ingat Ayu yang kuceritakan dulu? Ia masih sering kerasukan arwah " " Ayu bayi titisan Nyi Semi penari Gandrung itu maksudmu? Hampir sebelas tahun lalu, aku tetap mengingatnya" Menjelang tengah hari kami tiba di kecamatan Glagah menuju desa Olihsari. Patung penari gandrung acapkali terlihat di sepanjang perjalanan. Pengaruh kerajaan Blambangan terasa kental . Bahasa Osing yang kudengar selama perjalanan sangat menarik bagiku. Malam ini angin dingin berhembus kencang meniup kain gorden putih di jendela klinik bersalin milik Ni luh Padmi. " Bu Bidan, tolong Ayu kumat lagi, badannya kejang dari tadi sore, hanya sebentar saja siuman " kata mak Ida. Ia dan suaminya membobong Ayu laksmi. Anak itu tampak pucat pasi. " Ayu harus menginap di klinikku semalam mak Ida, saya kuatir Ayu akan sesak nafas " Mak Ida dan suaminya mengangguk. Aku membantu Ni luh merawat Ayu. Purnama penuh malam ini menghiasi langit desa Olihsari. Rasa letih yang menderaku selama perjalanan kemarin dari Surabaya ke Banyuwangi tiba - tiba lenyap. Sayup - sayup kudengar suara gamelan gong, saron, kluncing dan kendang bertabuhan. Seiring makin terangnya cahaya bulan, terdengar pula suara panjak penyorak penari menyela diantara alunan gamelan. Merinding bulu kudukku. Sesaat kemudian terdengar suara halus memanggilku menuju kamar tempat Ayu dirawat. Mak Ida dan suaminya telah lelap tidur disebuah bale kayu di depan kamar Ayu. Ya Tuhan, aku hampir tak percaya dengan penglihatanku. Perlahan- lahan sesosok mahkluk berbusana penari gandrung lengkap dengan omproknya keluar dari tubuh Ayu Laksmi. Rambutnya yang panjang berhias bunga aneka warna yang menebarkan aroma mistik. Aku hanya bisa tertegun melihat pemandangan ini. Roh itu benar - benar berwujud fisik seorang perempuan di hadapanku. Ya dialah Nyi Semi, arwah sang penari Gandrung yang selalu diceritakan Ni Luh kepadaku. Nyi Semi mendekat ke arahku, tangannya terus menggerakkan kipas sambil meliukkan tubuh dan kepalanya seirama dengan alunan kendang. Rasa penasaran dan takut berkecamuk dalam diriku. Aroma pandan dan kenanga wangi berbaur asap dupa memenuhi ruangan. Aku seolah terhipnotis mengikuti Nyi Semi untuk bergerak dan menari. Sementara dalam batas kesadaran yang lain aku melihat Ayu Laksmi pulas tertidur. Semakin cepat gerakan menari Nyi Semi. Aku diayunkan dengan selendangnya. Tubuhku terasa ringan seperti kapas. Melayang. Di balik kibasan selendangnya, kulihat bibir Nyi Semi tersenyum. "Nyi Semi, bolehkah saya bertanya" aku mencoba berkomunikasi dalam bahasa batin. " Anak boleh bertanya" jawabnya parau. Matanya berubah merah, ia menatapku tajam. " Mengapa Nyi memakai raga Ayu untuk kembali" tanyaku lagi. "Aku menginginkan Ayu menjadi seblang, ia akan sembuh dan berumur panjang sepertiku" sahut Nyi Semi. " Mengapa harus Ayu Nyi, kami hidup dalam alam yang berbeda dengan Nyi Semi " "Waktuku tidak banyak Anak, kamu ijinkan atau aku akan membawa Ayu sekarang juga sebelum masa akil baliqnya tiba" Tiba - tiba ia menyanyikan tembang seblang lokento, lagu ratapan kesedihan. Dari berbagai arah berlawanan lima sosok cantik penari seblang datang. Mereka mengelilingiku. Aku takut ini halusinasi, aku mencubit tanganku, terasa sakit. Ini nyata! Aku tidak berhalusinasi. Mereka menari meliukkan tubuh dan menyanyi tembang seblang lokento dengan raut wajah berduka. Entah mengapa hatiku seperti ikut tersayat dan pilu mendengarnya. " Hentikan Nyi Semi !, Apa maksudmu dengan semua ini" teriakku parau. Segenap kesadaranku bangkit. " Anak rupanya hanya kamu yang mampu melihat kehadiranku. Dengar, aku akan pergi dari tubuh Ayu dengan satu syarat" Suaranya melengking tinggi. "Katakan apa maumu Nyi Semi, asalkan kamu lepaskan Ayu dari pengaruh kekuatanmu" jawabku. " Seperti ibuku mak Midhah mengucapkan nazarnya maka kamu harus mengucapkan untuk Ayu Laksmi" jawab Nyi Semi. "Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing" lanjut Nyi Semi lagi sambil terus mengipasi tubuh Ayu. "Mengapa Nyi menginginkan Ayu menjadi Seblang?" tanyaku gusar. " Karena warisan budaya leluhurku sudah tergeser dengan musik dan tradisi asing, trah para seblang semakin tersingkir dan terlupakan. Jangan salahkan aku jika harus kembali ke alam kalian" suara nyi Semi menggelegar. Aku mundur beberapa langkah. Tubuhku terasa panas . Peluh bercucuran. Nyi Semi terus menerus mengipasi tubuh Ayu. Kulihat para penari seblang itu mengitari Ayu. Dari dalam kabut asap dupa kusaksikan Roh Ayu keluar dari tubuhnya. " Tidaaaaaaaak!!!!, Jangan bawa Ayu, dia milik kami Nyi Semi!", Jangan sakiti dia!" teriakku marah. Nyi semi tidak peduli, ia terus membubung bersama roh Ayu diringi kelima penari seblang itu. Rohku kurasakan melesat terbang menyambar Ayu. Tubuh kasarku terguncang dan terhempas ke lantai terkena sabetan selendang merah Nyi Semi. Tulang punggungku seperti remuk rasanya. Akhirnya ku berhasil merebut Ayu dari mereka. Suhu tubuhku menjadi sangat panas. Hidungku mengeluarkan darah segar. Aku berteriak mengusir Nyi Semi. Ni luh menepuk - nepuk pipiku. " Sekar, kamu bermimpi?" tanya Ni luh. Tangannya mengusap darah di hidungku. Mimpikah aku? Sungguh berani bersumpah aku tidak bermimpi!!. Roh Nyi Semi memang datang tadi. Kulihat Ayu masih terbaring lemah, belum siuman. Haruskah kukatakan pada orangtua Ayu tentang permintaan Nyi Semi? Kurasa tak hanya pada orangtua Ayu, tetapi pada kalian semua. SEKIAN Kupersembahkan fiksiku ini untuk menghargai budaya dan tradisi daerah Indonesia, khususnya seni Gandrung Banyuwangi. Salam Fiksiana Bidan Care/Romana Tari, NO 106 catatan:kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing" ( Jika kamu bisa sehat akan kujadikan penari seblang, jika tidak ya tidak) Bila ada kesamaan nama dan tempat itu adalah kebetulan semata. ASLI fiksi. terinspirasi dari :http://id.wikipedia.org/wiki/Gandrung_Banyuwangi#Asal_istilah sumber gambar: gandrung.online.blogspot.com
NB: Untuk melihat postingan peserta lainnya, silakan lihat disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H