Mohon tunggu...
bidadari nachwa amalia
bidadari nachwa amalia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Inggris Universitas Andalas

~

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Representasi Identitas Queer dalam Sastra Amerika Kontemporer

8 Oktober 2024   21:36 Diperbarui: 14 Oktober 2024   17:08 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pinterest @electricliterature.com

Karya-karya yang lebih modern, seperti “Call Me by Your Name” (2007) karya André Aciman, mengeksplorasi kisah cinta antara dua pria muda yang menjalani hubungan rahasia. Namun, tidak seperti banyak karya queer dari masa lalu yang berfokus pada penderitaan dan penolakan, novel ini menyajikan kisah cinta yang penuh gairah dan kebahagiaan, meskipun tetap berakhir tragis.

 Hubungan antara Elio dan Oliver dalam novel ini menyajikan tema penerimaan diri dan kompleksitas cinta queer yang dituturkan dengan keindahan dan kepekaan emosional. Dalam karya-karya seperti ini, coming out dan penerimaan diri tidak hanya ditampilkan sebagai tantangan pribadi, tetapi juga sebagai proses pengakuan cinta dan identitas yang indah.

Daib, seorang mahasiswa Sastra Inggris Universitas Andalas mengungkapkan bahwa ia setuju dengan statement bahwa proses coming out selalu menjadi tema sentral dalam banyak karya sastra queer. Jika "Giovanni’s Room" karya James Baldwin dibandingkan dengan karya yang lebih modern seperti "Call Me by Your Name" karya André Aciman. Kedua karya tersebut menunjukkan bahwa meskipun coming out selalu menjadi proses yang sulit, ada pergeseran dalam cara cerita-cerita ini disajikan— dari narasi yang penuh penderitaan menjadi kisah-kisah yang lebih merayakan cinta dan identitas queer.

Tantangan terhadap Stereotip queer dalam Sastra

Sebelum pergeseran dalam sastra kontemporer, karakter queer sering kali digambarkan melalui stereotip, baik sebagai tokoh tragis yang terjebak dalam identitas mereka atau sebagai sosok komedi yang berlebihan. 

Namun, penulis Amerika kontemporer berusaha menghindari jebakan tersebut dengan menciptakan karakter yang kompleks dan realistis, di mana identitas seksual mereka hanya merupakan salah satu aspek dari keberadaan mereka yang kaya dan beragam.

Misalnya, dalam novel “The Song of Achilles” (2011) karya Madeline Miller, hubungan cinta antara Achilles dan Patroclus tidak digambarkan melalui lensa stereotip yang sering ditemukan dalam kisah-kisah homoseksual. 

Sebaliknya, Miller menyajikan hubungan mereka sebagai bagian dari cerita epik yang lebih besar tentang perang, kehormatan, dan pengorbanan. Cinta antara Achilles dan Patroclus diakui sebagai hubungan yang kuat, penuh kasih, dan mendalam tanpa mengurangi dimensi karakter mereka sebagai pahlawan mitologis.

Penulis queer Amerika juga semakin berani mengeksplorasi identitas gender di luar batas-batas biner. Leslie Feinberg, dalam novelnya “Stone Butch Blues” (1993), membawa pembaca pada perjalanan seorang butch lesbian yang mengubah gender dan menghadapi diskriminasi berat dalam masyarakat yang sangat normatif. 

Karya ini menjadi salah satu karya paling signifikan dalam sastra transgender dan membantu membuka jalan bagi narasi queer yang lebih kompleks dan multidimensi di masa depan. Feinberg tidak hanya menantang stereotip tentang identitas queer, tetapi juga mengangkat isu-isu sosial yang dihadapi oleh individu transgender dalam menghadapi diskriminasi hukum, sosial, dan budaya.

Sastra queer sebagai Alat Perubahan Sosial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun