Rapuhnya ketahanan pangan nasional bisa menjadi sebuah ancaman yang serius, lantaran bila salah urus akan menimbulkan permasalahan baik di bidang ekonomi, sosial dan politik. Namun nyatanya, pembangunan ketahanan pangan nasional masih berkutat pada tataran makro saja, sementara pemenuhan pangan pada tingkatan unit masyarakat terkecil terkesan terabaikan.
Alhasil, dapat kita lihat sampai sekarang ini, program pemerintah dalam pembangunan ketahanan pangan terkesan masih jalan di tempat, utamanya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Melemahnya kemandirian pangan nasional turut disumbang oleh lemahnya keberpihakan kebijakan, manajemen dan tata kelola yang salah. Selain itu, masih terdapatnya egosektoral antar sektor, belum terpadunya industri di sektor hulu dan hilir, serta kurangnya infrastruktur pendukung.
Di sisi lain, lemahnya pemetaan atas kebijakan ketahanan pangan nasional baik dalam bidang penyediaan, distribusi dan cadangan pangan turut andil menyebabkan harga sejumlah komoditas pangan terus berkontraksi. Banyak komoditas pangan, termasuk kedelai, daging, dan bawang, diserahkan kepada mekanisme pasar.
Hal ini diperparah dengan ketergantungan bangsa terhadap pangan impor. Pemerintah selama ini terkesan hanya menambal sulam kekurangan bahan pangan melalui kebijakan importasi. Akibatnya sampai kini, belum ada tanda ketergantungan akan impor itu menyusut. Membanjirnya komoditas impor menandakan bahwa masih lemahnya campur tangan pemerintah dalam mendorong produksi, produktivitas, dan efisiensi usaha tani serta tata niaga komoditas pangan di sektor hulu. Untuk itu, kebijakan impor berbagai macam komoditas unggulan semestinya segera direm guna membangkitkan kedaulatan pangan nasional.Karena itu, sistem ketahanan pangan masyarakat yang terencana dan sistematis sangat mendesak guna memberikan kontribusi yang lebih signifikan terhadap upaya mewujudkan ketahanan pangan.
Sejatinya kebijakan importasi bukanlah sebuah ‘dosa’, namun kebijakan importasi yang dilakukan pemerintah sudah barang tentu menjadi sebuah cerminan ketidakmampuan pemerintah dalam mewujudkan kemandirian pangan nasional. Artinya, pemerintah belum mampu dalam menyeimbangkan neraca pangan.
Namun, benarkah instrumen impor terhadap beragam komoditas strategis adalah pillihan jitu untuk mengatasi kekurangan bahan pangan dalam negeri?????
Padahal, kalau kita sadari siapakah yang paling tersakiti atas kebijakan-kebijakan tersebut? Mereka tidak lain adalah petani nelayan dan masyarakat umum. Akibat over suplai pangan dari impor seringkali memaksa harga jual hasil panen petani menjadi rendah tidak sebanding dengan biaya produksinya sehingga petani terus menanggung kerugian.
Padahal, Indonesia dalam hal ini pemerintah telah menetapkan target terhadap sejumlah komoditas strategis guna mencapai swasembada pangan di tahun 2014. Adapun untuk komoditas strategis yang telah ditetapkan seperti ikan, padi, jagung, kedelai, gula, dan daging. Sedangkan bahan pangan yang menjadi favorit untuk diimpor a.l., beras, jagung, kedelai, biji gandum, tepung terigu, gula pasir, daging sapi dan ayam, garam, singkong, kentang, dll. Sungguh ironis, di satu sisi pemerintah terus menggaungkan kemandirian pangan, namun di sisi lainnya komoditas strategis tersebut kian mendapatkan celah untuk terus di impor.
Selain itu, terbuka lebarnya kran impor turut disumbang oleh lemahnya akurasi data sensus pertanian oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menyajikan data demand maupun supply. Tentunya, kita sama sekali tidak menginginkan negeri yang selalu digambarkan dengan semboyan gemah ripah loh jinawi ini terpuruk oleh ketergantungan akan pangan impor.
Tak ketinggalan, diduga ulah mafia dan kartel impor pangan yang masih bercokol turut pula merongrong ketahanan pangan nasional. Sebab itu, peran kartel dan mafia itupun terbilang cukup besar di semua lini dari hulu ke hilir seperti mempengaruhi harga, stok maupun pasokan pangan.
Para kartel tersebut melirik keuntungan yang sangat besar dari mengimpor, ketimbang repot memproduksi di dalam negeri.Tentu saja yang dirugikan adalah para petani dan peternak sapi di negara kita, karena komoditas impor itu lebih baik dalam banyak hal, termasuk harga yang kompetitif. Perilaku pemburu rupiah tersebut berdampak buruk pada upaya pemberdayaan petani dan nelayan dalam negeri.
Oleh sebab itu, carut marutnya mengenai ketahanan pangan nasional perlu segera dicarikan jalan keluar. Pasalnya, kompleksitas persoalan dan tantangan yang dihadapibak benang kusut, sehingga memerlukan adanya sinergi dan harmonisasi antar stakeholder terkait agar setiap kebijakan yang dijalankan dapat diwujudkan dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H