Penulis:
Qurotul Aini/215120101111017 dan Haura Syahla Nadifa/215120107111045
Beberapa waktu lalu masyarakat dihebohkan dengan kasus pelecehan seksual yang menimpa seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi negeri, yaitu Universitas Riau. Kabarnya, mahasiswi tersebut sedang melakukan bimbingan skripsi lalu sang dosen yang menjabat sebagai dekan melakukan pelecehan verbal hingga fisik. Pelaku mengatakan "i love you" hingga mencium pipi dan keningnya bahkan meminta untuk mencium bibirnya, "Mana bibir? Mana bibir?" kata si pelaku.
Sayangnya, setelah susah payah korban bersuara ditemani rasa trauma yang super berat, sang pelaku justru melaporkan balik dengan penuh rasa percaya diri. Korban diancam, dituntut, hingga dituduh melakukan pencemaran nama baik. Pelaku bahkan meminta ganti rugi sebesar 10 miliar.
Beberapa waktu kemudian, terdengar lahirnya Permendikbud No.30 tentang kekerasan seksual di kampus yang menjadi angin segar bagi para penyintas maupun warga kampus. Permendikbud No.30 Tahun 2021 adalah sebuah aturan yang berisi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Melansir indonesiabaik.id, Permendikbud 30 menjelaskan kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara fisik maupun non fisik, verbal, dan atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
 Permendikbud 30  menuai tanggapan pro kontra dari berbagai kalangan masyarakat. Berdasarkan hasil survei Ditjen Diktiristek, sebanyak 77% dosen mengatakan "kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63% tidak melapor kasus yang diketahuinya". Arby Alghazali selaku anggota dari hopehelps network mengatakan bahwa ketiadaan pengaturan mengenai administrasi dijadikan celah oleh pelaku untuk mengancam dan melaporkan balik atas dugaan pencemaran nama baik. Akibatnya, korban menjadi korban kembali karena tidak ada kepastian hukum. Mahasiswa juga mengeluhkan betapa sulitnya mencari keadilan bagi korban. "Kami sudah lama, sudah bertahun-tahun memperjuangkan adanya peraturan tentang kekerasan seksual, tapi kekosongan hukum seringkali membuat kami menemui jalan buntu" ucap Ketua BEM UI. "Kampus yang menjaga nama baik bukan yang denial terhadap kasus kekerasan seksual, tapi yang menanggapinya dengan serius dan menegakkan keadilan" sambung seorang mahasiswi.
Nadiem juga memperjelas bahwa kasus kekerasan seksual sudah sampai tahap mengkhawatirkan. Data dari komnas perempuan mencatat bahwa kampus menempati kasus pelecehan tertinggi di dunia pendidikan. Oleh karena itu, tentu mahasiswa merayakan lahirnya Permendikbud 30 yang diharapkan bisa menjadi jawaban atas lika-liku permasalahan kekerasan seksual di kampus. Â Â Â Â
 Sayangnya, upaya untuk menuntaskan kasus kekerasan seksual masih diikuti suara kontra. Perrmendikbud 30 dituding legalkan seks bebas oleh beberapa kelompok. Fraksi PKS mengatakan adanya celah moral yang melegalkan seks bebas di dalam Permen tersebut. Abdul Fikri Fiqih dari Fraksi PKS menyampaikan kekhawatirannya tentang dekadensi moral yang mana sebesar 33% remaja sudah melakukan aktivitas seksual. Menurutnya, dalam frasa "tanpa persetujuan korban" bermakna bahwa aktivitas seksual diperbolehkan asal terdapat persetujuan. Fikri mengatakan, "Artinya, hubungan seksual diperbolehkan asal atas dasar suka sama suka." Hal tersebut sama sekali tidak benar. Menaruh kata "tanpa persetujuan" bukan berati melegalkan tindak asusila dengan persetujuan. Tak hanya Partai PKS, MUI dan Muhammadiyah pun ikut menuntut agar Permen PPKS direvisi atau bahkan dicabut.
Kritik tersebut dijawab Nadiem Makarim dengan tegas, "Kalau kita ingin menyerang suatu permasalahan, kita harus menghasilkan regulasi yang spesifik terhadap permasalahan tersebut. Permasalahannya adalah kekerasan seksual. Definisi kekerasan itu adalah secara paksa. Dan apa itu secara paksa? Artinya, tanpa persetujuan. 'saya tidak mau itu dilakukan kepada saya tetapi itu terjadi' itulah alasannya kita memfokuskan aturan ini hanya untuk kekerasan seksual." ia melanjutkan, "kami di Kemendikbud tidak sama sekali mendukung seks bebas atau perzinahan, sama sekali tidak. Saya luar biasa terkejutnya ketika dituduh. Ada ktitik yang kami tampung, namun saya tidak bisa menerima fitnah yang menyebut saya menghalalkan seks bebas."
Perlu diketahui bahwa kekerasan seksual dan perzinahan adalah dua hal yang berbeda. Keduanya memang sama-sama buruk, tapi pembahasannya tidak bisa dicampur dan dijadikan satu. Sebab, yang satu tertoreh kata kekerasan sementara yang lain tidak. Mengakui bahwa kekerasan sekual terjadi secara paksa sementara zina terjadi tanpa paksa bukan berarti sama dengan melegalkan zina. Hal ini cukup menjadi bukti bahwa pembahasannya tidak bisa dicampur. Sekali lagi, memisahkan pembahasannya bukan berarti melegalkan zina. "Zina dan kekerasan seksual adalah dua topik yang sangat berbeda. Zina tidak akan dihalalkan dengan Permendikbud 30. Negara tentu tidak akan menghalalkan apa yang sudah diharamkan oleh agama" Ucap Ala'I Nadjib dari Ikatan Kongres Ulama Perempuan. Lagipula, mereka tak perlu khawatir karena zina sangat bertolak belakang dengan norma sosial yang berlaku, bahkan perbuatan perzinahan bisa diancam hukum pidana serta melanggar asusila.
Dapat disimpulkan bahwa lahirnya Permendikbud 30 disambut dengan pemikiran pro dan kontra. Di dalam kebijakan ini, terdapat kalimat yang dianggap bahwa hubungan seksual diperbolehkan jika terdapat kesepakatan antara dua belah pihak. Padahal, nyatanya kebijakan Permendikbud sendiri sama sekali tidak bermaksud melegalkan perzinahan, melainkan kekerasan seksual yang difokuskan di sini adalah adanya paksaan sehingga tindakan tersebut terjadi tanpa adanya persetujuan. Terlebih lagi Permendikbud 30 membahas tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi yang tentunya langsung dirayakan oleh mahasiswa karena kebijakan ini dianggap dapat menjadi jalan keluar untuk mencari keadilan bagi korban. Oleh sebab itu, bahaslah Permendikbud 30 sesuai konteks dan jangan dipelintir terus maknanya agar cita-cita untuk melindungi generasi penerus segera terwujud.