Oligarki dewasa ini semakin sering dibicarakan oleh khalayak umum.
Menurut KBBI oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu,
karenanya Oligarki banyak digambarkan jadi sosok elit penguasa yang dapat memutarbalikan fakta, data serta kuasa, oleh sebab itu oligarki jadi mahadewa yang biasanya ditakuti oleh satu golongan kecil dalam masyarakat yaitu kaum pinggiran.
Bagaimana tidak, petani pemilik lahan kecil yang menggantungkan harap hidup pada lahan penghasil makan bisa dengan mudahnya digusur untuk kemaslahatan umat yang kaya. Nelayan pinggir pantai yang menjadikan ikan sebagai hasil utama tangkapan bisa menjadi menganggur karena lahan ikan jadi perumahan, buah hasil reklamasi pemerintah setempat. Beberapa kilas balik sejarah Panjang bentrokan Oligarki VS masyarakat miskin kota yang jadi tontonan dan perhatian aktivis semata.Â
Apa media nasional pernah menggembor-gemborkan perihal hal ini? Tentu saja tidak, isu penggusuran bukan sesuatu yang seksi bagi media nasional karena tidak cukup menghadirkan cuan, apalagi korbannya masyarakat miskin yang hilang pengharapan.
Oligarki laksana semut yang sedang haus mencari makanan utama bermanis-manis, bagi semut gula adalah hal yang istimewa. Begitupun dengan lahan yang dianggap hal istimewa bagi oligarki, karena disana akan lahir cuan dan kekuasaan yang menggila dan menggelora lagi melebihi kawanan semut berkuasa atas tanah petak belakang rumah.Â
Hal ini mungkin yang jadi akar permasalahan mulai berkurangnya lahan hijau milik masyarakat, kebanyakan tertutupi privatisasi dan transaksi korporat. Oleh sebab itu transformasi agrarian semakin marak terjadi menyusul pembangunan massif jalanan dan bangunan pelahap sumberdaya.
Perampasan tanah oleh oligarki sebetulnya sudah lama terjadi pasca krisis ekonomi global pada tahun 2008. Pada masa itu perampasan tanah menjadi hal yang umum terjadi di banyak negara.
Singkatnya menurut (White et.al. 2012) perampasan tanah memiliki arti berupa pengambilalihan tanah dan sumber daya oleh pihak korporasi. Kata-kata perampasan menjadi fokus utama, karena dalam cara-cara yang dilakukan oleh oligarki, meraih sumber daya yang diperlukan butuh penciptaan dinamika kepemilikan yang dapat melibatkan perampasan tanah, air, hutan atau sumber daya publik lainnya demi privatisasi dan kepemilikan untuk korporasi milik mereka sendiri. Hasil dari privatisasi tersebut akan bertransformasi menjadi rezim tenaga kerja agrarian baru yang intinya berfokus pada kepemilikan sendiri (White et.al. 2012).
Pada persoalan perampasan tanah seperti ini dapat dibayangkan menjadi sebuah persoalan ekonomi politik, karena perampasan tanah sejatinya melibatkan paling sedikit dua aktor, yaitu aktor bisnis dan pemerintah.
Aktor bisnis memiliki peranan penting atas keinginannya untuk kepemilikan lahan berdasar dari kapital yang dimiliki. Sedangkan pemerintah menjadi pihak yang menerbitkan dan menerapkan kebijakan kepemilikan tanah. Oleh sebab itu pada faktanya perampasan tanah yang terjadi sebetulnya ada peran negara dibaliknya. Bahkan negara yang memiliki kuasa tertinggi selalu punya peran yang paling signifikan dalam kasus perampasan tanah.
Akumulasi kapital dari privatisasi lahan menjadi sebuah gambaran dimana segala bentuknya bisa dibeli dengan modal. Hal ini menjadi realisasi dari celah terbuka negara dapat dibeli oleh korporasi, salah contohnya adalah dengan investasi. Peran negara semakin diperkuat dalam perampasan tanah dengan kebijakan pembangunan melalui inestasi state inducement yang nantinya akan diaktualisasikan oleh para investor dengan beragam program pembangunan khusus yang dapat diyakini mempercepat pertumbuhan ekonomi negara (Levien 2012, 13; White et.al. 2012, 629).Â
Pada akhirnya membuka keran investasi dengan tujuan percepatan pembangunan ekonomi negara yang memiliki tujuan mulia, justru semakin membuat masyarakat sengsara, dan diperparah dengan pembebasan lahan yang berujung kepada perampasan tanah. Pertarungan macam ini sangat memperjelas posisi negara untuk warganya, benturan kekuatan sosial untuk memperebutkan sumber daya material menjadi daftar panjang secara historis bahwa negara lagi-lagi menutup sebelah mata untuk warganya. Semboyan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat cuma seonggok tubuh yang sudah jadi mayat, habis digerogoti kerakusan tikus istana.