Satu bulan terakhir KPK mencokok empat kader partai besar Tanah Air. Tidak tanggung-tanggung, dua di antara mereka adalah Kepala Daerah, sementara dua yang lain merupakan menteri. Jika tragedi yang berlangsung sebelum pilkada ini berlanjut sampai menjelang Pilpres 2024, bukan tidak mungkin masyarakat akan mengelu-elukan tokoh yang bukan sebagai kader partai untuk maju dalam kontestasi Pilpres mendatang.
Partai Gerindra mengawali tertimpa batu sial pada akhir November kemarin saat Menteri KKP tersandung benur. Berlanjut pada Walikota Cimahi, Bupati Banggai Laut kemudian Menteri Sosial yang merupakan kader partai pemenang pemilu 2014 dan 2019, PDI Perjuangan. Rentetan operasi dua minggu yang dilakukan KPK ini hanya berselang beberapa Minggu dari penyelenggaraan Pilkada serentak pada 9 Desember lusa.
Kejadian ini memperpanjang preseden buruk partai politik, yang bukan hanya akan berimbas pada pilkada ini tapi juga Pilpres empat tahun mendatang. Di masa Pilkada ini, efek paling besar tentu dirasakan dua partai tersebut. Tapi untuk efek pilpres, kemungkinan besar efek akan dirasakan seluruh partai politik Tanah Air.
Ada dua kemungkinan setelah tercekiknya dua partai besar menjelang pilkada ini. Satu reduksi partai politik, secara nilai maupun kadernya. Kedua, justru jadi batu loncatan partai untuk memperketat aturan main penerapan nilai maupun proses kaderisasi, utamanya yang bakal ditempatkan pada pos-pos strategis politis.
Untuk proses reduksi partai. Hal ini bisa kita lihat circle yang saat ini jadi titik fokus operasi KPK. Nampaknya KPK melayangkan perlawanan terang-terangan pada partai politik. Karena tidak main-main, yang disasar korps antirasuah itu adalah dua orang kepercayaan Ketua Umum, Partai Gerindra dan PDIP. Ini semacam warning, "orang paling dipercaya dua ketua partai terbesar saja bisa dilumpuhkan, apalagi yang lain."
Siapa yang diuntungkan? Tokoh-tokoh nasional yang ingin berlaga pada Pilpres 2024 namun tidak ada ikatan kepartaian. Meski nanti calon presiden mesti diusung partai politik, masyarakat tidak akan mempedulikan itu. Yang masyarakat inginkan adalah tokoh yang selama ini tidak punya track record kepartaian, baik institusional maupun struktural. Jika operasi KPK pada kader-kader partai ini berlangsung minimal sampai 2022, maka jadi sangat relevan akan lahir asumsi di tengah-tengah masyarakat bahwa kader partai adalah pemimpin bobrok, sementara tokoh independen memberi secercah pencerahan.
Kemungkinan kedua, partai semakin solid karena ingin mengamankan suara dan kepercayaan masyarakat. Caranya? Minimal akan semakin gencar sekolah partai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H