Hukum Perdata Islam di Indonesia. Pada tataran sistem hukum Indonesia saat ini, dimana hukum yang hidup adalah common law, hukum Islam dan hukum Barat, keberadaan hukum perdata Islam merupakan suatu keniscayaan yang keberadaannya menjadi ciri khas sistem hukum Indonesia. Hukum perdata Islam Indonesia adalah hukum positif yang berlaku di Indonesia, yang bersumber dari hukum Islam (yang merupakan ajaran Islam yang bersumber dari Al-Quran, Hadits, Ijma dan sumber-sumber hukum lainnya) dan menjadi hukum positif melalui proses positivisasi.Â
Hal ini harus dijelaskan mengingat hukum Islam (hukum Islam) tidak sama dengan Syariah atau Fiqh, karena ada produk hukum lain seperti fatwa, keputusan pengadilan dan undang-undang, yang sama sekali tidak dapat dipisahkan dan merupakan satu kesatuan. konstruksi Hak Islam. Hal ini memang unik karena tidak semua negara muslim memilikinya. Di Arab Saudi misalnya, tidak ada peraturan hukum yang menjadi pedoman bagi kehidupan bernegara.Â
Maka yang terjadi adalah perubahan dari nilai-nilai hukum Islam, seluruhnya atau sebagian, yang menjadi norma dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya UU Perkawinan, UU Wakaf, UU Haji, UU Perbankan (dan UU No. 10/1998 dan UU No 21/2008), dan yang tidak kalah penting adalah adanya himpunan hukum Islam yang juga berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Himpunan Hukum Dagang Syariah Berdasarkan Perma No. 2, 2008.Â
Oleh karena itu, apa yang terkandung dalam hukum perdata Islam dapat mengandung hukum hukum keluarga, hukum dagang, hukum politik, hukum acara, dll. Prinsip Perkawinan dalam UU 1 Tahun 1974 dan KHI. Dalam Undang-Undang 1 Tahun 1974 prinsip perkawinan meliputi; Tujuan pernikahan adalah untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan kekal, karena laki-laki dan perempuan harus saling membantu dan melengkapi, sehingga setiap orang dapat mengembangkan kepribadiannya untuk membantu dan mencapai kesejahteraan material dan spiritual.Â
Undang-undang ini mengatakan bahwa pernikahan adalah sah jika dilakukan dalam agama dan imannya Selain itu, setiap perkawinan harus dicatatkan sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Hukum ini menganut asas monogami. Hanya jika permintaan data karena hukum dan agama yang bersangkutan mengizinkan suami untuk menikah lebih dariorang namun, pernikahan lebih dari satu pria istri, sekalipun yang bersangkutan menghendaki demikian dapat dilakukan jika kondisi tertentu terpenuhi dan diputuskan di pengadilan.Â
Hukum ini mengikuti prinsip calon suami atau istri harus matang secara fisik dan mental untuk menikah tujuan pernikahan meski tanpa pengertian akhirnya bercerai dan memiliki anak yang baik. Oleh karena itu, pernikahan di bawah umur harus dicegah. Karena tujuan pernikahan adalah untuk membentuk sebuah keluarga kekal dan makmur, maka hukum ini mengikuti prinsip Perceraian pasti ada alasannya dan dieksekusi di pengadilan. Hak dan status istri seimbang dengan hak dan hak posisi laki-laki baik dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam masyarakat, yaitu dengan semua orang sesuatu dapat dirundingkan dan diputuskan bersama dalam keluarga.
Pentingnya Pencatatan Nikah dan Dampak Apabila Tidak Bila Tidak Didaftarkan. Pencatatan pernikahan meliputi manfaatkan atau manfaatkan, baiklah begitu besar dalam kehidupan manusia harus menyelesaikan ini. Jika perkawinan tidak diatur dengan jelas dengan undang-undang dan tidak para pihak menggunakan yang terdaftar yang baru saja menikah kepentingan pribadi dan merugikan orang lain terutama wanita dan anak-anak. Maka dari itu wajib untuk mencatatkan pernikahannya agar pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, seperti kelahiran dan kematian. Dampak jika tidak mendaftarkan pernikahannya:
Sosiologis. Adanya penuntutan bukanlah suatu perbuatan tertentu, sehingga penerapan hukum terhadap suatu peristiwa dapat diibaratkan seperti menarik garis lurus antara dua titik. Menurut Soerjono Soekanno, negara hukum dapat mencapai atau meleset dari tujuannya, sehingga biasanya diukur dengan seberapa berhasil mengatur sikap atau perilaku tertentu sehingga sesuai atau tidak sesuai dengan tujuannya.
Religius. Jelas kewajiban mencatatkan perkawinan dalam sumber-sumber hukum Islam, baik dalam Al-Qur'an maupun dalam Hadits. Selain itu, ulama fikih juga banyak memperhatikan pencatatan perkawinan. Mengingat Maslahah Mursala dalam hukum Islam, mutilasi perkawinan merupakan perbuatan yang wajib dilakukan.
Yuridis. Hal tersebut berimplikasi hukum terhadap berbagai aspek akibat tercapainya perkawinan yang baik, merujuk pada status suami istri, status anak yang dilahirkan, status harta benda, dan aspek keperdataan lainnya. Oleh karena itu, pencatatan perkawinan bukanlah syarat sah atau tidaknya perkawinan itu. Namun, hal itu dilakukan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan karena perkawinan mereka tidak tercatat
Pendapat Ulama dan KHI Tentang Perkawinan Wanita Hamil. Mengenai masalah hukum menikahi wanita hamil karena zina, Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa wanita yang hamil karena perzinahan, dia bisa menikah. Pendapat para ulama ini adalah bahwa wanita yang hamil akibat zina tidak tunduk pada hukum perkawinan yang ada di bawah hukum Syariah. Padahal tujuan iddah adalah untuk menjaga kesucian keturunan dan memuliakan sperma.Â