Mohon tunggu...
Tony Aryanto
Tony Aryanto Mohon Tunggu... -

petani yang selalu low profile

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Emping Melinjo, Rasanya Sungguh Nikmat

27 Juli 2011   05:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:20 926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Emping melinjo : PAGI baru saja berlalu ketika beberapa wanita paruh baya di Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang mulai menjemur emping melinjo yang masih basah di pinggir jalan. Ya, di kecamatan itu, beberapa perajin emping mulai melakukan aktivitas serupa. Camilan yang terbuat dari biji melinjo (Gnetum gnemon Linn) itu konon sudah diproduksi di Limpung sejak seabad lalu. "Ilmu" tersebut diajarkan turun-temurun, sehingga tetap lestari. Bahkan berkembang di seluruh Tanah Air. Rasanya yang khas, gurih, mampu memikat hati banyak orang. Apalagi menjelang Bulan Puasa hingga Lebaran nanti. Bisa dipastikan, permintaan bakal meningkat dan disertai kenaikan harga.

[caption id="attachment_125362" align="alignnone" width="720" caption="emping melinjo yang sangat enak"][/caption]

Kusriyah, salah satu pengusaha emping di Limpung bisa tersenyum lebar. Selama 15 tahun menggeluti bisnis emping, ia tahu betul kapan emping akan laku keras dan sepi. "Menjelang Lebaran sudah barang tentu ramai. Pasarnya, bisa sampai Semarang dan Surabaya, dalam partai besar," kata ibu tiga anak itu di sela kesibukannya menyiapkan kiriman emping ke Semarang. Bahkan, kini perempuan yang biasa mengepul barang dari warga setempat itu juga membuat emping sendiri. "Untuk emping kletuk (emping tebal) saya membuat sendiri. Tapi kalau yang emping 'LB' (pipih) membeli dalam bentuk mentah, lalu dijual dalam keadaan matang," terangnya.

[caption id="attachment_125364" align="alignnone" width="487" caption="EMPING PEDAS KLETUK YANG RASANYA MAK KRIUUUUUKKK"]

1311745565575722459
1311745565575722459
[/caption]

Ibaratnya rantai produksi, Kusriyah merupakan "ujung rantai" kerajinan emping di Limpung. Dialah penjual emping matang yang berhubungan dengan konsumen. Sebelum Kusriyah, ada pihak yang hanya membeli dan menjual emping mentah saja. Biasanya mereka menjadi penyedia emping untuk dijual lagi. Paiman adalah salah satunya. Biasanya, ia mengambil untung sekitar sepuluh persen dari harga beli. Misal, ia membeli emping basah seharga Rp 22.500 per kilogram, ia akan menjualnya dalam bentuk kering dengan selisih sepuluh persen lebih mahal, sebagai keuntungan. "Keuntungan itu bukan netto, karena ada upah pekerja, biaya operasional, dan lainnya," katanya. Ia biasanya membeli emping dari pengepul. Mereka ada yang para pemilik kebun melinjo, ada juga yang membeli melinjo, kemudian mendistribusikan kepada para perajin untuk dijadikan emping. "Saya biasanya membeli buah melinjo dari para petani. Melinjo-melinjo itu saya antarkan kepada perajin. Setelah jadi emping, saya ambil lagi. Jadi, sistemnya, saya mengupah para perajin itu berdasarkan hasil emping mereka," papar Masriah, salah satu pengepul asal Bawang. Kebanyakan pengepul dan perajin berasal dari luar Limpung, sedang penjual besar kebanyakan dari Limpung. Permasalahan jarak itulah yang membuat perajin menggantungkan diri pada pengepul. "Biasanya, saban minggu hingga paling lama sebulan, Ibu (Masriah) datang ke rumah, menyerahkan melinjo, sekaligus mengambil emping yang sudah jadi," kata Taslimah, perajin emping. Manual Taslimah membuat emping itu menggunakan cara manual. Alat-alat dan keahlian itu ia peroleh dari ibunya, Isnin. Pagi buta Imah, sapaan akrabnya, sudah memulai aktivitas membuat emping. Wajan untuk menyangrai, tlenan (landasan) dari batu, dan palu, juga dari batu. Biji melinjo yang sudah kering setelah disimpan beberapa hari terlebih dulu, disangrai selama 15 menit. Dalam keadaan panas, biji dikeluarkan dari wajan, dipisahkan dari kulit kerasnya, dan secepat mungkin di-gedik (dipukul) dengan palu, agar pipih. Proses ini harus cepat, tapi hati-hati. Karena itu butuh keahlian, terutama saat memipihkan melinjo. "Besar kecilnya upah sangat ditentukan dari bagus tidaknya emping yang dihasilkan. Semakin tipis emping, semakin mahal harganya," ujarnya. Imah sudah mulai terbiasa. Tangannya sudah mengapal. Dari kecil ia memang sudah terbiasa membantu ibunya membuat emping. "Lumayanlah, selama setahun ini menjadi perajin, hasilnya bisa untuk mengimbuhi pendapatan keluarga yang pas-pasan." Imah hanyalah satu dari ratusan, bahkan mungkin ribuan warga tak terdata di Kecamatan Limpung, Reban, Tersono, Bawang, bahkan Subah, yang menggantungkan diri pada kerajinan emping ini. "Kami mati-matian mempertahankan kelanggengan usaha emping, meski tanpa perhatian signifikan dari pemerintah daerah," tutur Kaliri, pemilik usaha jual-beli emping yang sudah berjalan lebih dari 20 tahun itu. Tanpa paguyuban atau koperasi yang menaungi mereka, bisnis emping terus berjalan, dan roda ekonomi masyarakat yang menggantungkan diri di dalamnya bisa terus melaju, sendiri-sendiri,, wow nikmatnya emping

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun