Maulid Nabi Muhammad SAW biasa diperingati umat Islam dengan berbagai cara, ada yang selawatan selama 12 hari, ada pula yang menggelar tradisi seperti yang dilakukan warga Desa Gunung Bakal, Kecamatan Tempuran, yaitu tradisi Gunungan Lenteng Agung setiap 12 Rabiul Awal atau bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW. Mengapa disebut dengan "Gunungan"? Hal ini karena tradisi ini selalu menghadirkan sebuah "gunung" dari krupuk yang terbuat dari tepung ketan yang biasa disebut disebut dengan LENTHENG yang ditata sedemikian rupa sehingga menyerupai gunung yang ditempatkan di tengah tengah ruangan utama masjid di Gunungbakal. Tujuan peletakan gunungan di dalam masjid agar masyarakat mau berbondong-bondong melakukan kebaikan amal saleh dan melakukan ibadah di masjid.
Tradisi Gunungan Lenteng Agung, awalnya dimulai sejak Mbah Kyai Raden Said Abdullah itu sebagai cikal bakal di Gunung Bakal. Dulu sekitar tahun 1700-an masyarakat desa Gunung Bakal ini masih menganut paham kejawen. Di mana setelah panen, masyarakat di sana mengadakan slametan atau sesajen, kemudian dengan datangnya Mbah Kyai Said Abdullah yang konon berasal dari kerajaan Mataram Surakarta. Beliau lah yang mendakwahkan agama Islam ditempat tersebut dan ternyata masyarakat setelah menerima dan memeluk Islam masih melakukan upacara sesajian yang hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam.Â
Pada akhirnya makanan tersebut di bawa ke masjid untuk di makan bersama daripada mubadzir. Pada waktu itu, beras ketan adalah hasil bumi yang paling berharga sampai sekarang, untuk pembuatan gunungan menggunakan makanan yang didominasi dari bahan beras ketan yakni Lentheng dan Rengginan. Dalam tradisi Gunungan Lenteng Agung ini masyarakat setempat membuat sebuah makanan berupa kerupuk lenteng, dimana masing-masing kepala keluarga jumlah lenteng yang dibuat bervariasi, jika keluarga besar biasanya membuat sekitar 30kg, sedangkan keluarga kecil 10kg dan rata-ratanya 20kg. Krupuk khas ini hanya diproduksi menjelang Maulid Nabi Muhammad SAW saja loh. Kerupuk
Lenteng ini dibuat dengan bahan baku berupa beras ketan yang diolah dengan parutan kelapa. Beras ketan itu di istilahkan sebagai perekat atau lem. Untuk itu, sebagai orang muslim simbolnya mempunyai keyakinan harus melekat dalam hati, artinya dalam menjalankan ibadah juga benar-benar melekat dalam hati. Adapun cara memasaknaya yaitu beras ketan ditumbuk hingga halus, lalu digiling hingga tipis.
Setelah itu, kerupuk dijemur dengan beralaskan daun pisang. Bila sudah kering, kerupuk lenteng mentah digoreng dengan minyak, Kerupuk lenteng yang sudah matang disusun menjadi gunungan dengan lidi aren bersama buah-buahan, seperti jambu, semangka, pepaya, dan rambutan. Tinggi dari gunungan lentheng tersebut yaitu 2,5 meter.
 Ada mitos yang dipercaya masyarakat setempat mengenai kerupuk lenteng ini. Konon, bila mendapatkan krupuk lentheng dari gunungan yang di dalam masjid, maka orang tersebut akan mendapat kemudahan dan kesejahteraan hidup pada masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H