Mohon tunggu...
masnib
masnib Mohon Tunggu... lainnya -

Lebih atau kurang rezeki harus dirayakan dengan secangkir kopi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

KTSP Atau K13 Di SMK? Sama Saja..

15 Desember 2014   18:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:16 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14186156151879914395

Hari Guru kemarin, belum sempat saya menulis tentang Guru di Jurnalisme Warga, tiba-tiba sudah ramai di perbincangkan tentang penghentian Kurikulum 2013. Kendati sifatnya sementara atau hanya pada sekolah-sekolah tertentu, bukan halangan bagi saya untuk tetap menulis ini. Dan karena saya guru SMK, maka tulisan ini membatasi hanya pada penerapan kurikulum di SMK saja.

Semua yang dekat dengandunia pendidikan pasti mengetahuibahwa kurikulum hanyalah alat untuk mencapai tujuan. Dan karena tujuan pendidikan di Indonesia bersumber dari falsafah bangsa Indonesia, maka kurikulum haruslah dijabarkan mulai dari tujuan nasional, lembaga,bidang studi sampai menyempit menjadi tujuan instruksional yang nantinya akan head to head dengan murid. Pada tataran tujuan pendidikan nasional dan lembaga atau institusi, biasanya orang dengan mudah bisa memahami karena masih bersifat umum. Giliran tujuan mengerucut ke bidang studi dan tujuan instruksional, maka pemahaman harus pada orang yang berkompeten. Bisa akademisi atau praktisi. Berkompeten itu tidak harus sedarah dengan disiplin ilmunya. Banyak kok, para praktisi yang secara akademis bertolak belakang dengan keahliannya. Dua unsur kurikulum yang disebut terakhir tadi adalah kunci keberhasilan dari dua unsur kurikulum sebelumnya. Bila tujuan instruksional tercapai, probabilitas keberhasilantujuan bidang studi akan tercapai pula. Begitu seterusnya sampai tercapainya tujuan nasional dengan menunggu keberhasilan tujuan institusional.

Kemudian, orang yang kompeten artinya cakap atau serba tahu. Dari kecakapan, orang akan percaya sepenuhnya dengan apa yang menjadi keputusannya. Orang yang cakap, biasanya punya kewenangan penuh mulai dari : Plan-Do-Action-Check and Re-check. Kata kompetensi, juga sering kita dengar di sekolah-sekolah kejuruan. Sebenarnya bukan hanya di sekolah-sekolah kejuruan saja, di sekolah umum pun juga sama, hanya saja beda nama, bukan kompetensi tapi jurusan, yaitu IPA-IPS. Sedang untuk Kejuruan terbagi dalam dua rumpun. Bisnis Menejemen dan Teknologi. Baik Bisnis Menejemen maupun Teknologi, terbagi dalam beberapa kompetensi, bahkan di beberapa daerah muncul kompetensi baru yang disesuaikan dengan permintaan dunia usaha setempat atau kearifan lokal. Jika di sekolah umum penjurusan berdasarkan prestasi akademik, di sekolah kejuruan, murni dilakukan berdasarkan minat,bakat dan kemampuan siswa yang bersangkutan. Itu teorinya...Prakteknya, kurang lebih hanya 10 % saja yang murni karena berminat, berbakat atau mampu. Selebihnya,ya asal masuk saja atau alasan-alasan yang lain.

Bisa jadi itu sebabnya lulusan SMK masih prematur untuk di lepas ke dunia kerja sesuai kompetensinya. Kalau toh lulusan SMK lebih banyak terserap ke dunia industri, banyak dari mereka menginfokan bahwa pekerjaan yang dihadapi tidak ada korelasinya dengan kompetensi yang dimiliki. Mindset mereka yang penting kerja. Kalau sudah begitu, kecintaan terhadap kompetensi yang di geluti selama 3 tahun, praktis tidak ada. Dan yang namanya membentuk tenaga pofesional dalam visi dan misi sekolah hanyalah slogan saja. Lalu, benarkah ini memang karena input yang tidak jelas tadi? Atau guru yang cuek dengan kenyataan seperti ini? Atau kurikulumnya ? Prinsipnya, menyalahkan pihak lain tentu mempunyai konsekuensi, jadi paling aman tentu menyalahkan diri sendiri. Ya, guru yang salah.

Berangkat dari seorang tenaga profesional, 4 tahun lalu saya meniatkan diri untuk masuk ke dunia pendidikan dengan menjadi seorang Guru teknik/praktisi (oh ya,Walaupun Guru praktisi,secara akademis background saya dari keguruan yang idealnya mengajar di rumpun bisnis dan menejemen, namun karena saya tak ada “sense” di situ, maka lewat informal dan otodidak akhirnya menjadi seorang tenaga profesonal). Disinilah awal mula saya mengenal kurikulum KTSP. Yang saya amati saat itu adalah betapa banyaknya mata pelajaran yang harus di pelajari oleh siswa. Sangat tidak praktis kalau semuanya dilaksanakan. Pelajaran dasar kejuruan saja sudah seperti mata kuliah di kampus yang penuh dengan rumus-rumus membosankan. Ini SMK lo.Analoginya sama persis dengan KTSP untuk sekolah dasar yang mengharuskan kelas 4 SD mampu membedakantugas menteri dan presiden. Tapi anehnya, pada tingkat pendalaman justru terlihat dangkal. Sebagian mata pelajaran kejuruan malah sudah kadaluarsa untuk ukuran saat itu, karena benda yang akan di dalami saja sudah dihentikan produksinya. Sementara untuk benda yang lagi up date, didiamkan begitu saja.

Merubah yang sudah terjadwal, tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Ya sudahlah. Saya lebih memilih agar bagaimana mereka mencintai kompetensi yang mereka pilih dengan berbagai cara. Bila perlu over lapping dengan kolega tak apalah. Artinya meski bukan bagian saya,tapi kalau mereka tidak mengerti wajib bagi saya untuk membuat mereka mengerti, toh semua orang tahu kalau pelajaran teknik mengharuskan untuk komprehensip. Pemahaman yang menyeluruh akan mempermudah ke pendalaman materi tingkat lanjut. Dengan cara seperti ini saya menaruh harapan agar kalau mereka lulus, pekerjaan mereka tidak jauh-jauh dengan kompetensi yang telah dipelajari sebelumnya, meski yang terjadi hanya 10% saja yang sesuai dengan angan angan saya. Banyak dari mereka lebih memilih menjadi “robot-robot” industri.

Membandingkan KTSP dengan K13 untuk sekolah kejuruan, praktis tidak ada bedanya. Paling tidak di sekolah yang saya kenal. Cara penyampaian materi, cara memperagakan sampai alat peraganya masih sama saja. Para guru yang sudah mendapat pelatihan K13 pun masih sama seperti sebelumnya. Kalau unsur sikap dan perilaku menjadi variabel penilaian, saya tidak menganggap itu suatu perbedaan karena di KTSP pun anak pandai yang berkelakuan buruk juga ada yang tidak naik kelas. Terkait dengan keberadaan internet sebagai “dewa”nya K13, pada prakteknya yang terjadi tak seperti yang diharapkan guru. Hoby membaca di kalangan anak SMK masih belum membudaya, jangan heran kalau perpustakaan fisik atau perpustakaan elektronik di SMK sudah banyak yang kolaps. Dan ketika beralih ke tablet, e-book bukan menjadi kebutuhan utama, mungkin yang ke 4 setelah Sosial Media, Game dan Hiburan. Khusus untuk ini, lebih tepat guru memang harus membuat sendiri e-book yang menarik dan sesuai dengan kebutuhan, karena hanya beliau yang tahu kemampuan rata-rata mereka.Mengandalkan format PDF resmi versi K13, pusing. Membaca sekian ratus halaman yang membosankan terasa seperti menghabiskan umur saja. Sedang untuk membaca buku paket kejuruan, sampai 3 semester ini belum ada. Satu satunya perbedaan yang membuat saya senang di K13 hanyalah perubahan Mata Pelajaran yang sudah up to date. Pendalaman materi yang bersifat aplikatif bisa menumbuh kembangkan kreatifitas mereka, dengan syarat gurunya juga harus kreatif. Jika kretifitas sudah tumbuh, otomatis guru hanya akan mendampingi. Walhasil, niat K13 yang ingin merubah mindset bahwa guru bukan satu-satunya sumber ilmu akan tercapai.

Kurikulum 2013, memang baru berjalan 3 semester, tentu tidak bijaksana kalau memberi kesimpulan nilai lebih dan kurangnya. Tetapi dengan komposisi 30% teori dan 70% praktek, sangat menginspirasi saya untuk selalu membuat hal-hal menarik yang bermuara pada kecintaan mereka dengan pilihan kompetensinya. Tak perlu minat dan bakat, karena ketertarikan kepada apa yang dikerjakan/dipraktekkan pasti akan mengiringi kemampuan mereka.Begitu juga kecintaan akan kompetensi, minimal menjadi pertimbangan dalam menentukan pekerjaan kelak.

Di akhir tulisan, saya ingin mengutip kalimat Anis Baswedan : “Kurikulum berubah tidak otomatis kualitas pendidikan meningkat. Namun jika kualitas guru meningkat, pendidikan kualitasnya pasti meningkat. Itu kuncinya”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun