Anak-anak muda yang hobi mendaki gunung, melihat pendaki seusia bapak mereka selalu salah kaprah dalam menilai. Umur boleh tua tapi jiwa tetaplah muda, begitu penilaian mereka yang menurut saya salah kaprah karena sebenarnya tak ada korelasi antara jiwa muda dengan mendaki gunung, terbukti banyak anak muda yang lebih suka ke Pantai. Tetapi sebenarnya anggapan mereka ada benarnya. Semboyan dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat, adalah alasan tepat mengapa mendaki gunung didominasi para usia muda.
Pun aktifitas mendaki gunung butuh tubuh yang sehat, dan itu didominasi anak-anak muda usia. Jadi kesimpulannya berjiwa muda maksud mereka itu sebenarnya adalah memiliki tubuh sehat.
Bicara mendaki gunung diusia tua, saya mungkin salah satu dari para orang tua yang selalu ingin “berjiwa muda”. Meski tekanan darah diatas rerata, meski bayang bayang penyakit degeneratif selalu mengikuti, meski tes laborat terukur diatas normal, bukan halangan untuk selalu membuat waiting list gunung- gunung yang saya ingini. Salah satunya adalah si kembar Arjuno Welirang.
Destinasi Arjuno Welirang bukan asal comot tetapi banyak pertimbangan salah satunya adalah ikatan historis tahun 80an masa SMP dimana hampir tiap hari saya melihat Arjuno tiap kali berangkat sekolah. Dan bertepatan dengan hari kemerdekaan ke 71 negeri tercinta Indonesia, saya dan kolega sepakat memilih untuk memulai pendakian dari Tretes-Pasuruan, karena meski memakan waktu lebih lama dan jarak yang lebih jauh dibanding dari Lawang-Malang, namun ketersediaan air di tiap pos (semacam tanah datar yang bisa digunakan untuk tempat ngaso) menjadi pilihan nomer satu.
Pos awal Pendakian Tretes kebetulan sudah ditandai di Google Maps, jadi dengan bantuan mesin pencari lokasi terasa lebih mempersingkat waktu. Hanya 4 jam untuk bisa sampai dari Madiun ke basecamp pendakian awal. Itu sebabnya mengapa saya tak merasa lelah dan tak sabar untuk melanjutkan perjalanan, setelah memegang Simaksi (Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi) yg harus dibayar dengan uang Rp 30.500.
Jam menunjuk angka 4 sore itu artinya saya harus secepatnya memulai pendakian sore hari sesuai rencana, dan tidak terlalu malam untuk sampaidi Pos Kokopan. Bagi pendaki tua seperti saya, perencanaan yang matang adalah kunci utama untuk bisa sesuai target. Prepare jauh-jauh hari sebelum hariH, membantu saya dalam mengimbangi tenaga muda dari tim yang sepantaran anak saya. Mulai dari jalan cepat, lari, bersepeda ditambah beberapa aplikasi olahraga di smart phone, semua saya lakukan konsisten untuk menakar usia dalam pendakian ini. Tak lupa perlengkapan komplit untuk mengimbangi cuaca gunung yang sulit ditebak.
Dan Alhamdulillah meski ditemani gerimis, jam 07.10 saya sudah mulai membuka lapak,melepas penat dan mengisi perut. Malam itu semua tidur nyenyak meski hujan sangat deras. Sampai akhirnya salah seorang dari kami terbangun karena matras menjadi basah (lupa tidak membuat jalan air di sekitar dome) namun karena nanggung untuk tidur lagi maka saya memutuskan untuk packing.Akhirnya pagi pagi sekali saya sudah bisa memulai perjalanan ke Pos berikutnya yaitu Pondokan.
Kata Pondokan dalam bahasa Jawa diartikan tempat singgah sementara. Sekedar info tambahan, tempat ini biasa digunakan untuk menyimpan belerang yang diambil dari Gunung Welirang. Mirip seperti lumbung padi di sawah. Bedanya kalau lumbung untuk menyimpan padi tapi kalau lumbung di Pondokan untuk tempat berlindung dari dinginnya hawa gunung. Selain sebagai penampungan belerang, Pos Pondokan juga merupakan pertigaan menuju puncak Welirang dan puncak Arjuno. Untuk bisa sampai ke puncak Welirang estimasi waktu 2,5 jam, sedang ke puncak Arjuno estimasi waktu 4 jam.
Kembali ke topik, dengan usia yang hampir mendekati setengah abad, ditambah membaca beberapa catatan perjalanan orang lain, saya pesimis untuk bisa mengimbangi “anak-anak” menuju Pos Pondokan ini, karena tipikal jalan berbatu yang memang dirancang untuk kendaraan jenis 4WDpengangkut belerang ditambah trek tanjakan yang dominan lurus membentuk horison membuat mental semua pendaki akan down,tak terkecuali saya. Tak heran para pendaki menamai trek ini dengan nama Tanjakan Penyesalan.
Tetapi faktanya saya mampu menjaga ritme pendakian sehingga mampu bukan saja bersaing tapi malah membuat mereka anak-anak muda keteteran mengekor dibelakang saya. Lagi-lagi persiapan yang matang menjadi resep usang yang masih pantas untuk sebuah alasan. Catatan waktu 3,5 jam dari Kokopan ke Pondokan jauh melebihi ekspektasi saya.
Menjelang siang suasana Pos Pondokan mirip dengan suasana kampung disebuah desa pada umumnya, ada jalan kampung, ”rumah” para pencari belerang (penambang), warung, mushola, kecuali satu yang membedakan adalah tidak ada ibu-ibu di sana. Saya memilih salah satu (dari dua) warung untuk sekedar menghangatkan perut dengan segelas teh panas serta mengganjal perut dengan gorengan. Sambil beramah tamah dengan pemilik warung, beliau juga menyarankan untuk secepatnya ke puncak Welirang senyampang belum terlalu siang (Malam hari suhu Welirang sangat ekstrim). Akhirnya menjelang siang saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke puncak Welirang (3156 mdpl).