Sudah dengar, 2 pendaki Semeru ditemukan selamat setelah tersesat berhari-hari? Memang tersesat, tak menarik untuk diceritakan jika tak pernah mendaki. Tapi selalu ada pesan moral yang bisa diambil siapapun, termasuk yang tak suka berpetualang. Tersesat itu seperti batas antara hidup dan mati. Dua tahun lalu saya menangis ketika sinar matahari memperlihatkan bahwa saya di jalur salah dalam mencapai puncak Merapi (Harusnya melingkar tapi karna gelap saya tak melihat bekas jejak kaki pendaki lain).
Setahun kemudian kembali saya menahan tangis ketika air untuk bekal yg menjadi tujuan saya ke Sumber air Sendang Macan (Gunung Lawu) mengering, mengecoh logika, hingga saya merasa harus terus berjalan menurun dan menurun (Padahal sudah terlewati). Dan saat Allah menampar kesadaran saya, semuanya terlambat karna dengan habisnya tenaga, mustahil untuk naik kembali. Keputusan untuk melipir (Jalan memutar) akhirnya menjadi keharusan. Sampai akhirnya beberapa jam kemudian saya menemukan jalur umum via Candi Ceto, Karang Anyar, Jateng. Padahal base camp pendakian awal dari Cemoro Sewu, Magetan, Jatim
Terkesan lebay jika tersesat beberapa jam saja sudah menyimpulkan serasa antara hidup dan mati. Sebenarnya bukan lebay karena sejatinya yang membuat kesimpulan antara hidup dan mati adalah ketidak pastian itu sendiri. Dalam pengalaman diatas, saya tidak tahu pasti apakah bisa mencapai puncak Merapi dengan selamat? Pun saya tidak tahu pasti apakah saya akan menemukan kembali jalur Lawu?
Dimanapun berada, kepastian memang mahal harganya. Kalau boleh ngelantur, orang kaya memilih berobat ke Singapore bukan karena "wah" tapi murni karena bisa mendapat kepastian diagnosa terukur dari alat2 kedokteran yang up to date. Contoh lain yang sepele misalnya ketidak pastian keberangkatan, ketidak pastian beres tidaknya sesuatu sampai ketidak pastian status hubungan. Yang seperti itu mungkin hanya berdampak jengkel, pasrah atau galau.
Tetapi bila itu terjadi di alam bebas, dan menyangkut hidup mati, tentu hanya diri sendiri yg bisa mengatasi. Apalagi jika lamanya tersesat sampai berhari-hari. Saya jadi teringat seorang teman yang sendirian tersesat gegara tertidur menunggu teman-temannya yang lain turun dari Puncak Ogal Agil (Gunung Arjuno). Ketika terbangun dia merasa suasana sepi (padahal tidak) akhirnya dia memutuskan untuk turun sendiri. Sama seperti cerita saya sebelumnya, kesadaran di jalur salah sudah sangat terlambat hingga akhirnya 3 hari harus survival, sampai tim SAR tak sengaja menemukan si teman di jalur Cangar - Batu. Padahal dia naik via Tretes.
Boleh-boleh saja punya keyakinan bahwa tersesat itu diluar kesadaran. Misalnya pengalaman murid saya (sebut saja Budi) yang merasa didepannya terlihat seorang pendaki profesional (terlihat dari brand merk yg menempel). Karena percaya penampilan, diperjalanan turun dari Mahameru, Budi mengikuti terus dibelakangnya. Saat Budi melihat dikanan kirinya adalah cerukan mirip block culvert yang biasa di pakai di bawah jembatan, barulah dia sadar itu bukan jalan yang dilewati saat naik. Dan mirip cerita di acara TV misteri, pendaki didepannya pun tak terlihat lagi. Betulkah itu diluar kehendak? Wallhuhu A'lam.
Atau betulkah itu diluar kesadaran? Sulit untuk diperdebatkan. Salah satu teman yang lain mengisahkan, sekitar jam 8 pagi, masih banyak pendaki yg berusaha naik di trek pasir Mahameru. Karena teman saya dalam posisi turun, teman saya mengalah dengan cara bergeser agak sedikit ke kanan, sambil perlahan turun sedikit demi sedikit, dengan harapan pendaki yang naik lebih leluasa tanpa harus ber zig zag. Beberapa puluh menit berlalu, terasa ada yg aneh. Suasana terlihat sepi. Dia menoleh keatas, betapa kagetnya karena tampak pendaki lain terlihat kecil. Sayup-sayup terdengar teriakan gak jelas. Dengan sekuat tenaga kembali teman saya merangkak naik. alhamdulillah selamat.
Dari banyak cerita nyata di atas, hanya satu penyebab mengapa pendaki tersesat. Kurang fokus. Mengapa teman saya tidak mendengar teriakan pendaki lain? Mengapa Budi mengekor padahal bukan sekali dua kali ke Mahameru? Atau mengapa saya salah jalur? Jawabnya satu. No Focus on the track. Hanya itu penyebabnya. Faktor mistis, hanyalah sisipan dari cerita perjalanan yang tidak semua orang mengalami.
Minggu lalu, berempat saya ke puncak Limas (Gunung Wilis). Pendakian perdana bagi saya tapi tidak bagi dua teman yang lain. Di perjalanan turun, tepatnya di Pos Sekar Taji saya bertemu dengan 2 rombongan yang berbeda . Andai sesuai rencana, jalur turun sama seperti jalur naik yaitu jalur A karena saya ingin melihat landscape kota Kediri, Madiun dan punggungan Gunung Wilis nan eksotis. Namun yang terjadi saya nurut saja ketika dirubah ke jalur B dengan alasan hawa udara di jalur B lebih sejuk. Jalur B memang dipenuhi pepohonan yang sulit ditembus matahari tapi kesejukan itu harus ditebus mahal dengan kountur tanah berlumpur dengan kemiringan yang ekstrim.
Satu jam berlalu, jejak jalan yang kami lalui semakin lama semakin tak terlihat sampai akhirnya buntu. Beberapa orang dari rombongan dan dua teman saya tertawa bareng. Barulah saya tahu mereka menertawai kekonyolan mereka sendiri. Bagaimana mungkin beberapa kali naik Wilis tapi masih saja tersesat. Pesan moralnya tentu tetaplah dengan kesadaran tinggi dan Stay Focus. Dimanapun fokus adalah wajib. Dengan fokus, mata dan pikiran akan tetap terjaga. Walhasil tidak ngantuk saat mendengar khutbah Jum'at, tidak juga tertidur saat mengheningkan cipta. Jangan karena kita kurang fokus terus kesasar, malah menyalahkan pihak pengelola dengan protes: rambu petunjuk enggak ada, terlalu kecil atau tertutup pohon.
Atau jangan jangan mungkin kita sudah biasa, gak berdo'a gak bekerja, selalu saja menuntut hak. Padahal orang yang suka menuntut hak pasti suka melalaikan kewajiban. Hmm...