[caption id="attachment_351489" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Pribadi"][/caption]
Cerita di balik suatu peristiwa kadang terlihat lebih menarik dibanding peristiwa itu sendiri. Apalagi kalau dalam cerita itu dibumbui pula data data tidak resmi ditambah dari sumber sumber yang tidak resmi pula. Itulah yang terjadi ketika saya mendampingi anak didik mengikuti salah satu lomba berskala propinsi yaitu Lomba Ketrampilan Siswa (LKS).
LKS memang tidak setenar Olimpiade sains (OS), walaupun esensinya sama. Keduanya mengacu pada jenis lomba setingkat Sekolah Lanjutan Atas. Dan lazimnya suatu lomba, selalu ada pihak yang kalah atau sebaliknya, ada yang kurang beruntung ada yang sebaliknya. Sang jawara pun berhak mengikuti ke jenjang yang lebih tinggi yang bermuara pada World Skills Internatinal Competition. Berbeda dengan LKS yang mengharuskan peserta adalah siswa SMK, Olimpiade Sains mengharuskan peserta adalah siswa SLTA. Materi lomba bersifat konsep untuk OS dan bersifat ketrampilan untuk LKS.
Kembali ke cerita di balik LKS, saya penasaran dengan salah seorang pembimbing salah satu peserta dari bidang lomba “Aplikasi Elektronik” yang berbeda dengan pembimbing-pembimbing yang lain. Teman-teman menyebut, sekolah yang gagal mengkader karena secara kasat mata terlihat paling senior diantara kami. Biarlah itu penilaian mereka, karena saya hanya tertarik dengan orangnya bukan yang lain. dialek “Suroboyoan” yang kental, lengkap dengan “Jangkrik” dan “Jan” “Jan” yang lain membuat saya semakin ingin mendekati agar lebih jelas mendengar apa yang beliau ceritakan. Apalagi gaya bercerita selalu dibonusi dengan gerakan-gerakan segar yang membuat lumer suasana. Saya sendiri AREMA yang sudah 20 tahun lebih bermukim di Madiun. Jadi wajar kalau mendengar dialek Suroboyoan membuat kangen. Mirip-mirip home sick karena tiap hari dijejali dialek Mataraman.
Beliau sudah 23x mengikuti kegiatan LKS baik sebagai pembimbing, peninjau maupun hanya sekedar melihat-lihat saja. Ketika beliau menyebut tahun 1991 sebagai tahun pertama menjadi pembimbing, barulah saya sadar bahwa keikut sertaan beliau adalah awal diadakannya LKS karena dari banner yang terpampang jelas tulisan “Selamat Datang Peserta LKS yang ke XXIII” . menurut cerita beliau, awal diselenggarakannya LKS hanya diikuti oleh 13 SMK Negri dan Swasta se-Jatim, bandingkan dengan sekarang yang diikuti 80 lebih SMK se Jatim. Ditahun-tahun pertama, langganan juara selalu di rebut oleh SMK S* Lo**s dan SMK P**RA. Sampai akhirnya pada tahun 1995 mahkota mereka berdua direbut oleh salah satu SMK di Malang yang kebetulan adalah tuan rumah pertama diluar kota Surabaya. Keikut sertaan keduanya berakhir pula di tahun itu karena keduanya menganggap ada kecurangan yang sulit dibuktikan namun tampak adanya. Dan sebagai bentuk tanggung jawab moral, keduanya memboikot untuk konsisten tidak ikut serta bidang lomba “Electronic Application” sampai sekarang. Dalam benak saya terkesan seakan-akan tiap pergantian kepala sekolah selalu kepala sekolah berikutnya mendapat amanat dari kepala sekolah sebelumnya untuk tidak ikut LKS. (Kok gitu sih..)
Banyak lagi cerita dari beliau yang bisa di tulis disini tapi saya lebih suka menulis apa yang belum pernah saya dengar. Misalnya bagaimana kualitas lomba yang semakin menurun, ini di buktikan dengan tingkat kesulitan yang kurang fariatif kemudian betapa ribetnya mengikuti LKS sekarang karena praktis semua peserta membawa alat-alat sendiri untuk keperluan mereka. Butuh satu mobil untuk membawanya, padahal dulu peserta hanya cukup hadir di saat lomba tanpa harus membawa alat apapun. Bahkan para pembimbing waktu itu terkadang kecipratan rejeki, ketika lomba usai . alat-alat yang digunakan untuk lomba entah sengaja atau tidak, mereka bawa pulang semuanya.
Mungkin itu pak, yang membuat aturan dirubah agar peserta membawa alat sendiri. Hehe..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H