[caption id="attachment_365243" align="alignnone" width="576" caption="Sumber: Pribadi/Facebook"][/caption]
Ikut meramaikan kisah Bripda Taufik, bukan diartikan aji mumpung tapi sayang kalau melewatkan begitu saja cerita-cerita yang bisa memberi gambaran yang tak pernah terbayang sebelumnnya. Tulisan ini juga tidak bermaksud menambahkan kembaran Bripda Taufik apalagi mengeksploitasi lebih dalam dari sisi ketidak beruntungan tetapi lebih pada pencapaian puncak prestasi. Harus diakui, selalu menarik jika melihat seorang underdog bisa menjadi juara. Denmark, negara yang tak pernah diunggulkan di sepak bola tiba-tiba saja menjuarai Piala Dunia, begitu pula dengan Yunani. Siapa pula yang tidak tahu kisah Presiden kita yang sekarang. Dan tentu tak ketinggalan Bripda Taufik, seorang "nothing" yang menjadi "something" yang mampu menyisihkan ribuan calon Polisi tanpa harus di “kawal”. Sebagian orang meneteskan airmata membaca kisah Bripda Taufik sebagian lagi melakukan sesuatu dari bentuk kepeduliannya. Padahal kenalpun tidak. Akan menarik bila Bripda Taufik adalah teman atau sahabat kita sendiri. Karena apapun tentangnya tentu bisa di gali lebih dalam. Tidak mendengar dari orang lain tak juga berdasar pengakuannya sendiri. Semua proses perjalanan hidupnya, kita yang jadi saksi dan kita pula yang menulisnya di sini.
Karena saya tidak kenal dengan Bripda Taufik, tentu saya tak akan menulisnya. Tetapi sungguh suatu keberuntungan karena saya mempunyai murid yang ada ke miripan dengan Bripda Taufik. Sebut saja namanya Bripda Setiawan. Ada tiga kesamaan antara dua Bripda ini : Belum menerima gaji pertama, Latar belakang pendidikan dari SMK dan tidak memakai“pengawal” untuk bisa lolos (atau istilah kerennya Warving). Yang membedakan tentu domisili dan latar belakang keluarga. “Anak” saya berangkat dari Jatim dan menjalani pendidikan di SPN Nusa Tenggara Timur. Dari keluarga yang utuh khas Keluarga Berencana. Bapak, Ibu dan dua anak Putra putri. Sang Bapak seorang buruh tani yang karena ke ulet-annya menabung, mampu menyewa sawah orang lain. Sang Ibu berkeliling menjual sayur dan kebutuhan pokok lainnya (Kegigihan orang tua ini akan panjang untuk di tuliskan).
Menjadi gurunya selama 3 tahun menjadikan saya tahu apapun tentang watak, perilaku dan karakternya. Mendampingi saya di dalam dan di luar kelas sudah cukup untuk membuktikan karakter anak ini. Terkadang gantian saya yang mendampingi dia jika saya tunjuk untuk mengikuti lomba. Kedekatan yang terjalin antara Guru dan Murid ini meningkat menjadi kedekatan pribadi. Mengikuti Lintas Alam, mendaki gunung bahkan sampai ngopi bareng sudah biasa bagi saya dan Bripda ini.
Menginjak kelas XII akhir, sudah menjadi tradisi SMK yang selalu disambangi dunia industri, institusi TNI/POLRI dan bebrapa Vokasi untuk merekrut siswa-siswa berprestasi guna mengisi formasi yang mereka butuhkan. Seleksi yang sangat ketat, membuat banyak siswa berguguran kecuali beberapa yang bertahan yang salah satunya “anak” saya. Bukan saja satu PT(PT Pabrik, bukan PT Perguruan Tinggi) yang meloloskannya tapi empat PT sekaligus. Setelah lulus, saya tidak begitu mengikuti perkembangan anak ini selanjutnya. Hanya itu cerita terakhir dari "anak" saya ini.
Di akhir tahun 2014 (Tujuh bulan kemudian), orang tua anak ini berkunjung ke rumah kontrakan saya, bercerita panjang lebar tentang keajaiban yang di buktikan lewat lolosnya sang anak masuk anggota POLRI. Keajaiban yang dimaksud pastilah terkait dengan uang pengawalan alias uang pelicin yang Nol Rupiah. Jarang sekali saya mendengar masuk TNI/POLRI tanpa mengeluarkan ekstra uang. Itulah sebabnya saya ingin mengorek lebih dalam dari pelaku langsung tulisan ini.
Di awal tahun 2015, Bripda Setiawan secara khusus menemui saya. Cara bicaranya sudah mulai tertata khas Polisi. Sesekali juga keceplosan “Siap Ndan” kepada saya. Dari ceritanya ternyata dia dipercaya membawahi beberapa ratus siswa selaku koordinator di SPN tempat dia di didik, padahal usianya masih 18 tahun. Saat saya singgung tentang Nol Rupiah, dia berkomentar bahwa mindset anak sekarang tentang POLRI, masih sama dengan mindset orang tuanya: mustahil masuk POLISI tanpa tahu “jalan”nya. Itu pula yang ada dipikiran orang tuanya waktu itu. Wajar orang tuanya tidak setuju ketika secara spontan Bripda Setiawan mengutarakan niatnya untuk mendaftar POLISI, mungkin merasa bukan orang kaya.
Dalam suatu kesempatan, memang saya pernah ngobrol dan bercerita tentang adik teman saya yang diterima di AKMIL tanpa sesenpun uang. Sungguh tak disangka obrolan itu mengilhami untuk spontan mengisi formulir pendaftaran masuk POLRI. Berbekal uang dari penjualan HP (karena orang tua kurang setuju), dia mengurus kelengkapan syarat-syarat. Bercermin dari kondisi ekonomi keluarganya dia bertekad akan mundur bila dalam prosesnya membutuhkan uang pelicin. Secara rinci pula dia menceritakan tahapan-tahapan seleksi yang masing-masing tahapan mempunyai bobot berbeda. Dan seakan ingin meluruskan apa yang telah dilakukan sebelumnya bahwa kekuatan fisik bukanlah segalanya. Kesehatan dalam dan luar justru prioritas tertinggi dalam seleksi ini disusul dengan Tes Akademi, Tes Psikologi dan terakhir barulah kekuatan fisik. Dia berpesan kepada saya selaku Guru untuk mempersiapkan kesehatan “adik-adik”nya bila ingin menjadi TNI/POLRI, diantaranya dengan tidak merokok atau minum minuman keras karena akan terlihat jelas dalam seleksi kesehatan. Ditambahkan pula bahwa banyak peserta yang larinya kuat dan cepat justru tersisih karena nilai tes kesehatan di bawah standard. Sebaliknya ada peserta yang hanya berjalan diatas air karena tidak bisa berenang malah lolos seleksi.
Kemudian saya bertanya, apakah semua teman-temanmu sama denganmu? Tanpa “pengawalan” bisa lolos? Dia tidak secara eksplisit menjawabnya kecuali hanya berteori bahwa apabila terjadi Warving, kesalahan utama karena orang tua yang bersangkutan memang kaya atau di kaya-kayakan.kesalahan kedua karena orang tua tidak percaya dengan persiapan anak dan yang ke tiga orang tua sudah tersugesti dengan Jer Basuki Mawa Bea. Untuk berhasil harus ada biaya. Ketiga kesalahan orang tua inilah yang dimanfaatkan beberapa oknum untuk mengeruk keuntungan dari celah yang ada. Ketika saya pancing dengan satu pertanyaan, lebih banyak mana si kaya dan si biasa saja? Jawabnya tegas:Yang seperti saya hanya beberapa saja.
Mungkin karena saya merasa ada kedekatandengannya, untuk yang terakhir saya ingin mengetahui suka duka selama di SPN. Banyak cerita-cerita menarik yang sayang untuk dilewatkan begitu saja. Tetapi karena harus “Off The Record” sesuai permintaannya, maka saya tidak mungkin untuk mengeksposenya.Namun secara garis besar saya bisa menarik kesimpulan bahwa dimanapun Sekolah (Sekolah Ikatan Dinas, Sekolah Polisi, Sekolah Reguler, Sekolah khusus) selalu melibatkan Murid dan Guru. Artinya dimanapun sekolah selalu ada murid yang nakal tetapi banyak juga yang baik. Ada Guru yang baik ada yang kurang baik. Namanya juga manusia.
Kesimpulan dari tulisan ini adalah, menjadi Polisi haruslah memenuhi syarat yang diminta. Bila persyaratan dipenuhi, maka tak diperlukan lagi calo warving. Tetapi bila persyaratan tak terpenuhi jangan memaksakan diri untuk mencari pengawal. Lebih baik menunda satu tahun lagi dengan persiapan yang lebih baik. Jika dengan uang pelicin bisa menjadikan lolos, dikhawatirkan kelak akan menjadi Polisi yang licin pula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H