Mohon tunggu...
purwo nugroho
purwo nugroho Mohon Tunggu... Seniman - Statistician, Martial Artist, Accounting

simple person sesimple hati dan pikirannya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sabuk Hitam (bagian Pertama)

23 Februari 2011   04:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:21 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Chapter 1

( Sensei)

Waktu telah menunjukkan pukul 08.30 , matahari belum terlalu terik saat itu.di sebuah pekarangan sebuah rumah terdapat sebuah gedung bertingkat yang terbuat dari kayu dan papan, sebuah gedung yang paling panjangnya 23 meter dan lebar 10m, lumayan besar sehh.Gedung ini Cuma punya satu pintu dibagian depan yang langsung disediakan tangga, sementara di kiri kanan dan terdapat masing masing 3 buah jendela yang berbentuk kotak tanpa kaca. Sementara dibagian belakang Cuma ada dinding papan yang rata tempat sang empunya gedung menggantungkan beberapa kaligrafi yang bertuliskan kata dengan huruf kanji jepang yang aku tak mengerti artinya.ada juga poto beberapa orang di dinding itu tapi aku tak terlalu memperhatikannya.

Didalam gedung itu sedang terdengar suara gaduh, suara orang orang yang sedang berteriak, teriakan penuh semangat yang membuatku semakin dekat ke tempat itu. Mereka semua menggunakan baju dan celana berwarna putih dengan macam macam sabuk yang mengikat di pinggangnya, keliatannya sabuk itu sebagai tanda tingkatan mereka.sosok mereka juga beraneka rupa, ada yang berbadan tegap dan besar hingga anak anak kecil yang penuh senyum ceria.Suara mereka semua membahana memenuhi ruangan yang berhawa panas itu.

Disisi jendela kiri tampak sepasang mata sedang melihat ke arah dalam ruangan,matanya melotot tak berkedip,sibuk memperhatikan tiap gerakan , dari mulutnya pun asap rokok tak berhenti mengepul.tapi itu bukan aku, dia terlalu tua dan gendut diusianya yang mungkin menginjak 30 tahunan.dia tersenyum padaku dan sejenak kemudian menalihkan pandangannya lagi kedalam, mungkin dia sedang menunggui anak ato keluarganya didalam.

Dibelakang gedung itu ada sosok gagah yang juga sedang berlatih karate menggunakan makiwara” alat latih karate berupa papan yang sebagian ujungnya ditanam ketanah ,sementara ujung lainnya dililitkan tali atau ban karet sebagai sasaran pukulan atau tendangan.”.Tekhniknya benar-benar bagus apalagi di usia mudanya yang baru menginjak 22 tahun. Tiap pukulannya berisi dan menghantam makiwara dengan kuat.nah yang itu juga bukan aku, terlalu kuat dan gagah bahkan diwajahnya itupun jarang digantungkan sedikit senyuman,sangat berbeda denganku yang selalu penuh canda tawa.pria itu bernama senpai erlan, begitulah mereka memanggilnya, aku sendiri pun belum terlalu mengenalnya dengan baik ,kecuali tahu bahwa dia adalah orang yang paling serius di gedung itu.

Aku disini, duduk di tangga depan, mataku tak berhenti menatap ke arah mereke yang sedang berlatih. Tanganku seakan hendak memukul juga,aku seperti tertarik magnet yang kuat ,badanku seakan ingin mengkuti tiap jejak rekam tekhnik yang terpampang didepan wajah. Apalagi usiaku masih muda ,baru 15 tahun,otot dan tubuhku masih ingin ditempa. Badanku yang tak terlalu kurus pun kurasakan begitu berat.

“Knapa Cuma duduk disini?, masuk saja kedalam” suara laki-laki tua itu mengejutkanku. Tubuhnya mulai renta tapi sisa sisa keperkasaan masih nampak ditubuhnya, dia menggunakan karate-gi(seragam karate) dan sebuah sabuk hitam lusuh terikat di pinggangnya. Sebuah sabuk yang warna hitamnya mulai hilang sedikit demi sedikit, namun tidak mengurangi kewibawaannya. Dengan langkah tegap pak tua itu mulai masuk kedalam gedung yang bertuliskan dojo putro retno di atas pintunya itu.

Aku masih termenung dan bingung dengan siapa sebenarnya sosok tua tadi, maklum 2 minggu aku menonton kegiatan di gedung itu tak pernah aku melihatnya. Kupandangi saja bapak itu masuk, begitu bapak itu masuk semua orang yang berada didalam langsung sedikit membungkuk (sikap Hormat) dan mulai berkata “Osh “ mungkin itu kata buat menghormati , nanti akan kutanyakan semua hal yang masih menjadi buram dalam pikiranku. “ Sensei , kapan datang? Sama siapa?” sahut sosok tinggi besar yang kukenal sebagai bang ucok, tokoh pemuda di kampung ini yang juga pelatih karate di dojo ini.Pak tua itu hanya tersenyum , dia berdiri dan berkata” teruskanlah latihan kalian sensei Cuma mau melihat saja, kangen pengen latihan” bang ucok tersenyum gembira dan langsung membungkuk hormat” osh

Latihan pun kembali dilanjutkan, kali ini mereka melakukannya lebih semangat dari yang sebelumnya , saking penasaran aku menanyakan perihal bapak tua tadi pada bapak yang masih melihat latihan dari jendela kiri, tak lama aku pun mendapat jawabannya “yang baru kau temui tadi adalah sensei budi ohtsuka, dia adalah pria keturunan jepang yang sudah menjadi WNI sejak lama. Dialah yang pertama kali membuka dojo di kampung ini, bisa dibilang dialah Sang Guru (Sensei).”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun