Mohon tunggu...
bianca mayta
bianca mayta Mohon Tunggu... Psikolog - mahasiswa psikologi

saya menyukai hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kenaikan Pajak dan Janji Pemilu: Sebuah Ironi Ketimpangan

27 Desember 2024   17:57 Diperbarui: 27 Desember 2024   17:56 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awal tahun 2025 akan menjadi momen yang penuh tantangan bagi masyarakat Indonesia. Kenaikan berbagai pungutan pajak dan iuran yang direncanakan pemerintah menimbulkan banyak pertanyaan, terutama karena hal ini baru disampaikan setelah Pemilu 2024 usai. Banyak yang bertanya-tanya, mengapa isu sepenting ini tidak dibahas secara serius dalam debat kampanye? Apakah kenaikan ini sengaja disembunyikan, ataukah masyarakat memang kurang tertarik membicarakan persoalan yang langsung berdampak pada kehidupan sehari-hari mereka?

Dalam suasana kampanye, isu-isu yang diangkat cenderung berfokus pada janji-janji yang bersifat populis atau simbolik, seperti program bantuan sosial, pembangunan infrastruktur megah, hingga retorika nasionalisme. Isu pajak jarang sekali menjadi sorotan, bahkan dianggap terlalu teknis dan tidak menarik perhatian pemilih. Padahal, kebijakan pajak adalah fondasi utama keuangan negara dan menentukan distribusi kekayaan di masyarakat.

Negara-negara maju seperti Australia menempatkan kebijakan anggaran sebagai inti dari debat politik. Partai-partai yang bersaing wajib memaparkan secara rinci bagaimana program-program mereka akan didanai. Pemilih diberikan kesempatan untuk mengevaluasi dampaknya pada keuangan mereka, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas. Sebaliknya, di Indonesia, debat politik lebih sering didominasi oleh isu agama, identitas, atau figur pemimpin, sementara isu-isu konkret seperti pajak dan anggaran kerap diabaikan.

Kenaikan pajak yang direncanakan ini semakin menegaskan ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Pajak, yang seharusnya menjadi alat untuk mendistribusikan kekayaan secara lebih adil, justru sering kali dirasakan lebih berat oleh kelas menengah ke bawah. Mereka terpaksa

memikul beban tambahan tanpa adanya jaminan peningkatan kualitas layanan publik. Di sisi lain, kalangan elite dengan berbagai privilese justru memiliki cara untuk menghindari kewajiban pajak, baik melalui celah hukum maupun praktik yang tidak transparan.

Hal ini menciptakan persepsi bahwa pajak hanya menjadi alat untuk "membujuk" masyarakat menerima ketimpangan. Sebagian masyarakat bahkan melihat pajak lebih sebagai kewajiban sepihak daripada kontribusi bersama. Dalam konteks ini, negara seolah menjadi seperti seorang pedagang yang menjual janji-janji manis di masa kampanye, namun menaikkan harga tanpa kompromi begitu pemilu berakhir.

Agar kebijakan pajak tidak terus-menerus menimbulkan ketidakpuasan, pemerintah perlu memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaannya. Masyarakat berhak tahu bagaimana uang pajak mereka dikelola dan apa hasilnya. Selain itu, pajak harus digunakan untuk memperkecil kesenjangan, bukan memperburuk ketimpangan sosial.

Sebagai warga negara, kita juga harus lebih kritis dalam menilai janji-janji politik. Sudah saatnya kita tidak hanya terpaku pada simbol-simbol atau retorika semata, tetapi juga menuntut penjelasan mendalam tentang kebijakan yang akan langsung berdampak pada kehidupan kita. Pemilu bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga menentukan arah masa depan kita bersama. Dengan pendekatan yang lebih kritis dan transparan, kenaikan pajak mungkin bisa diterima sebagai kebutuhan bersama, bukan sekadar beban tambahan. Pada akhirnya, pajak harus kembali pada esensi utamanya: membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun