Selamat pagi pak. aku membawakan minuman untuk melepas dahagamu pagi ini. Lelaki tua itu dari jauh mendekat kearahku. Aku tuang air dalam gelas, ini minumannya pak. Lelaki tua itu duduk dan menaruh cangkulnya. tubuhnya penuh dengan keringat dan bercampur lumpur sawah. waktu masih berjalan lambat, matahari malu bersinar di antara kabut pagi. Lelaki tua Apa kabar pak hari ini, itu yang selalu aku tanyakan padanya. dan jawabannya selalu sama. sehat dan masih di beri umur panjang. Apakabar anak-anakmu di kota? mereka baik semua jawabnya bangga. Kamu tinggal sendiri? iya dan Lelaki tua itu terdiam. Apa yang kau cari pak bila hanya sendiri, tidak nyamankah kamu duduk dengan Cucumu di kota, dan menunggu kematian dengan bahagia. Lelaki tua itu tersenyum. Aku seorang Petani, nak. hidup bagiku adalah bekerja, dan sawah ini tempatku bekerja. Tapi tanahmu tidak cukup untuk makan sewindu. karena tanah sawah telah kamu jual untuk biaya anakmu belajar di kota. iya lelaki tua itu membenarkan. Aku bangga mereka sukses di kota, dan Lelaki tua menceritakan satu persatu dari lima anaknya. Kenapa tidak kau ajak salah satu anakmu untuk bertani, seperti yang di ajarkan orang tuamu pada dirimu. Aku tidak inggin mereka susah nak, biarkan hanya aku menjadi generasi Petani dalam keluarga kami. Anda salah pak, di kota lebih susah dalam hidup ini yang keras. Aku tau anakmu tak bisa bekerja dengan fisik tapi mereka memeras otak untuk hidup di Kota. Jadi anda generasi terakhir Petani, tanyaku pelan. Maukah kamu menggantikan aku kelak menjadi seorang Petani, tanyanya serius. Aku terdiam tidak mampu menjawab, ilmuku menjulang ke langit tidak ke bumi dan aku terlalu bodoh untuk menjadi Petani. Aku akan ajari kamu mulai hari ini, dia berharapan besar padaku. Iya aku mau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H