Beberapa saat lalu beta dengar podcast dalam tautan ini (tujuannya antara lain supaya beta pung bahasa Inggris sonde mengalami pembusukan. Kalau teman-teman dorang mau belajar bahasa Inggris -- listening, sebaiknya rajin mendengar podcast yang ada hubungan dengan bidang minat atau bidang studi teman-teman dorang). Bagian pertama podcast yang beta dengar ini menghadirkan Thaddeus Williams untuk membahas buku R-E-F-L-E-C-T karyanya; buku yang Pengantarnya sempat beta terjemahkan beberapa saat lalu.
Ada satu hal yang menarik beta pung perhatian dari podcast ini, selain isi buku, yaitu ketika Williams berbicara tentang Jonathan Edwards (dalam kaitan dengan buku Williams yang lain, yaitu Love, Freedom, and Evil.
Jonathan Edwards adalah seorang filsuf dan teolog dari aliran Kavinis. Ia merupakan seorang jenius yang masuk Harvard pada umur 12 tahun (dengan kemampuan berbahasa Yunani, Ibrani, dan Latin). Pencapaian teologisnya antara lain adalah, ia merupakan tokoh utama Kebangunan Rohani Besar pertama di Amerika Serikat. Pencapaian Edwards lain (yang banyak) dapat dibaca pada buku karya George Marsden.Â
Perdebatan utama antara aliran Kalvinis dan aliran Arminian (sampai saat ini) adalah masalah kehendak bebas. Pada menit 7.03 -- 7.28 podcast ini, Thaddeus mengatakan bahwa saat mengeritik pandangan Arminian, Edwards tidak hanya mengeritik argumen terbaik Arminian yang ada pada jamannya, tetapi juga memperbaiki formulasi terbaiknya baru ia menyerang pandangan lawannya. Artinya ada kelemahan dalam formulasi pandangan Arminian yang mudah dieksploitasi, sehingga Edwards membantu mereka formulasi lebih baik pandangannya. Sesuatu hal yang sangat menarik. Ia tidak hanya mengeritik formulasi argumen lawan, tetapi ia bersusah payah membantu mereka dengan menyusun argumen yang lebih baik, sebelum ia menyerangnya.
Buat beta, ini merupakan satu bentuk kejujuran intelektual yang jauh di atas rata-rata, karena sering kali orang mengatakan berpegang pada satu pandangan, tetapi tidak paham formulasi terbaiknya sehingga sangat mudah dijatuhkan dalam sebuah debat. Hal yang mirip dengan yang dilakukan Edwards beta lihat pada Gordon H. Clark dan William Dembski (dan mungkin juga filsuf lainnya, walaupun beta tahu ada filsuf yang tidak peduli dengan hal seperti itu). Tetapi bandingkan itu dengan bagaimana banyak orang Kristen yang tidak terlalu paham ajaran agamanya sendiri yang berani terlibat dalam perdebatan-perdebatan sehingga dengan mudah dipatahkan argumennya oleh lawan. Demikian juga dengan penganut ateis, atau penganut sistem pemikiran atau filsafat lainnya, seperti kapitalisme, komunisme, demokrasi, dll.
Namun apakah kita harus menjadi orang seperti Edwards, Clark, Dembski, dengan kata lain harus menjadi filsuf (yang paham betul pandangannya dan pandangan lawan) sebelum berdebat? Beta sonde mengatakan bahwa orang tidak boleh berdebat kalau sonde paham sepenuhnya tentang satu masalah -- karena kita mungkin tidak punya waktu untuk itu. Berdebat itu baik dan malah harus dilakukan kalau kita peduli dengan kebenaran. Kita tidak harus paham sempurna tentang sebuah sistem pemikiran sebelum kita boleh memperdebatkannya.Â
Kita bisa berdebat dan mempertahankan pendapat kita dalam ketidaksempurnaan pengetahuan kita, tetapi selalu siap-sedia untuk mendengarkan lawan bicara, siapa tahu lawan mengemukakan sesuatu yang tidak kita ketahui sebelumnya. Kita tidak menghadapi lawan dengan gaya 'Pokoknya... pokoknya...' atau dengan gaya mengutamakan kredensi akademis/kredensi lain untuk menutupi masalah dengan argumen kita (walaupun ada pokoknya yang lain yang dapat ditolerir, tergantung definisi 'pokoknya'). Tetapi dalam hal keterbukaan ini pun, kita harus kritis, karena lawan kita boleh saja mengetahui sesuatu yang kita tidak ketahui, tetapi hal yang dia ketahui bisa jadi tidak relevan dengan topik yang dibicarakan, atau malah mungkin yang dia ketahui itu mendukung posisi kita.
Alasan lain kita perlu terbuka adalah terkadang dari informasi yang ada, lawan menarik kesimpulan yang kita tidak pernah kita duga. Hal ini normal karena kita tidak maha tahu sehingga kita tidak mungkin tahu semua hubungan antar semua proposisi tidak kita ketahui. Alasan lain adalah bisa jadi lawan memiliki titik tolak awal yang berbeda sehingga fakta yang sama bisa menghasilkan kesimpulan berbeda. Kalau pembaca penggemar sains (termasuk sejarah sains), teman-teman akan melihat hal itu bukan sesuatu yang asing dalam sains.
Untuk orang-orang yang gaya 'pokoknya.. pokoknya' atau yang sok menyodorkan kredensi akademis atau kredensi lainnya, sering kali hanya perlu diabaikan. Namun terkadang kita harus memberikan pelajaran buat lawan yang punya gaya demikian. Paling tidak untuk kepentingan audiens yang membaca perdebatan. Lawan kita mungkin tidak bisa yakinkan akan kebenaran posisi kita (atau minimal masalah yang dihadapi posisinya) saat itu, tetapi ada audiens yang membaca perdebatan yang terjadi dan mereka mungkin mempelajari sesuatu dari sana. Atau bisa juga lawan debat kita tidak mau mendengar kita saat ini, tetapi pada saat tertentu di masa depan, ia menyadari pandangan kita benar. Tetapi yang jelas saat debat, ia tidak selalu merupakan target utama kita (terutama kalau dia gunakan gaya 'pokoknya atau yang sok menyodorkan kredensi akademis/kredensi lainnya). Jadi jangan terganggu secara psikologis.
Untuk berdebat dengan orang seperti itu ada dua cara melakukannya, yaitu (1) menjawab lawan sesuai kebodohannya dan (2) tidak menjawab lawan sesuai dengan kebodohannya.
Menjawab orang sesuai dengan kebodohannya, bisa dilakukan dengan cara menganggap bahwa apa yang dikatakannya benar, dan kemudian melalui argumentasi yang valid menunjukkan bahwa kalau dia benar, maka kesimpulan yang ditarik dari apa yang dipercayainya tidak ia sukai, atau justru bertentangan hal lain yang ia percaya. Secara teknis ini dikenal sebagai reductio ad absurdum atau logical ad hominem.