Mohon tunggu...
Bhisma Pristawa
Bhisma Pristawa Mohon Tunggu... -

Pembaca filsafat, pelajar antropologi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mari Beri Caleg Bersih Kesempatan untuk Tampil

5 April 2014   03:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:04 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13966170211256357055

[caption id="attachment_330074" align="aligncenter" width="300" caption="Mari pilih caleg bersih"]
[/caption]

Menjelang pemilihan umum banyak pihak, terutama lembaga-lembaga nonpemerintah, yang mengampanyekan jangan pilih “caleg busuk”. Tentu saja ini adalah cara lain untuk menganjurkan “pilihlah caleg bersih”. Tapi kalau mengatakannya dengan cara kedua, akan terasa seperti kampanye “halus”, meski mengatakannya dengan cara pertama ada juga kesan kampanye “negatif”. Hanya saja, saya sendiri juga merasa, mau tak mau kita mesti membuat kategorisasi semacam itu, dan menyebarkannya ke masyarakat luas. Kenapa?

Mesti kita akui, dalam setiap pemilihan umum kita seperti “memilih kucing dalam karung”. Dari sekian ribu caleg—di tingkat nasional saja katanya ada 9 ribuan—sudah barang tentu kita tak mengenal keseluruhannya. Kalaupun dibatasi di daerah pemilihan kita saja, tetap saja nama-namanya terlalu banyak untuk kita kenali satu per satu. Tapi ikhtiar untuk tahu latar belakang nama-nama itu tetaplah perlu. Biar kita nantinya tak lagi jadi pemilih yang untung-untungan memilih kucing dalam karung.

Nah, ikhtiar semacam ini yang beberapa waktu lalu dicoba oleh majalah Tempo dengan mengeluarkan edisi “Bukan Caleg dalam Karung” maupun Koalisi Bersih 2014 yang merilis daftar caleg bersih di bersih2014.net. Jumlah nama yang berhasil mereka jaring memang tak seberapa dibanding keseluruhan jumlah caleg; bahkan dibanding jumlah anggota DPR RI yang 560 orang. Akan tetapi, berhasil dijaringnya belasan nama “caleg bersih” ini menunjukkan bahwa dalam pemilu kali ini caleg yang cukup baik dan layak kita pilih itu masih ada. Di antara 11 nama caleg pilihan Tempo itu adalah:


  1. Taufik Basari (Nasdem, dapil DKI I)
  2. I. G. Agung Putri (PDIP, Bali)
  3. Maman Iamnulhaq (PKB, Jabar IX)
  4. Binny Bintarti Buchori (Golkar, Jatim VII)
  5. Nur Amalia (Nasdem, Banten I)
  6. Sofyan Tan (PDIP, Sumut I)
  7. Intim Solachma (PDIP, Sumsel I)
  8. Idham Arsyad (PKB, Jabar V)
  9. Josrizal Zain (Partai Demokrat, Sumbar I)
  10. La Ode Ota (PDIP, Sultra)
  11. Ali Husin Nasution (PKS, Riau I)


Tentu saja daftar yang hanya berisi 11 nama itu tidak mewakili setiap daerah pemilihan yang ada di Indonesia, bahkan tidak mewakili 12 partai politik yang berlaga di tingkat nasional. Tapi seperti yang dikatakan redaktur laporan Tempo sendiri, keberadaan kesebelas nama ini setidaknya menunjukkan bahwa “... orang baik semestinya ada bahkan di tempat yang paling buruk.” Jadi, meski banyak caleg yang kita hadapi tahun ini “tidak meyakinkan”, namun setidaknya ada di antara mereka caleg-caleg yang bisa dibilang berkualitas.

Dan di setiap dapil, masa sih tak ada seorang pun caleg bersih?

Caleg dari dapil tempat saya sendiri memilih, yakni Jatim I, tak seorang pun yang nongol di daftar caleg bersih pilihan Tempo. Tapi setidaknya, banyak sumber informasi lain yang bisa saya gunakan untuk menimbang-nimbang mau pilih siapa tanggal 9 nanti. Untuk sementara, saya sudah kantongi nama itu. Mudah-mudahan para pembaca lain juga dapat menemukan “pilihan tepat” di daerah pemilihan masing-masing. Yang penting, sedapat mungkin jangan kita biarkan golput menjadi “pemenang” tahun ini. Karena golput yang melulu tinggi pertanda “sakitnya” demokrasi yang sedang kita jalani.

Jika kita bilang kita golput karena “tak ada pilihan tepat” atau karena “semua caleg sama saja busuknya”, 560 orang yang tak kita pilih akan tetap duduk di kursi DPR 5 tahun ke depan. Dan mereka inilah yang akan menyusun berbagai undang-undang, anggaran berbagai program pembangunan, juga mengawasi lembaga eksekutif.

Bayangkan jika sebagian besar dari kita golput, dan sebagian besar lainnya sekadar “memilih kucing dalam karung”, apa jadinya negeri kita nanti? Bukankah lebih baik kita “bersusah payah” menentukan pilihan, kemudian ramai-ramai ke TPS tanggal 9 April nanti?

Rujukan:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun